Thursday, December 29, 2011

#langgamcuwa

Lamun wus kebacut cuwa | kaya tatu kang tanpa usada | Amung gempil kawitane | suwe-suwe dadi lan larane...

Tembung-tembung ora guna | tetembangan kalis tanpa daya | Pinggete kedawa-dawa | dadi tangis kang tan kawistara...  

Tintrim ati | grimis riwis tengah wengi | wengine tanpa seksi | sidane | daleweran waspa anelesi jangga...  

Lamun wus kebacut cuwa | yektine wus datan butuh tamba | Amung suwung aneng dhadha | klawan sepi kang nggegering rasa.

#diary

Embun semalam dihapus hujan sepagi. -Hagnyanawati-

Embun bukan hujan, tak perlu bikin gerah sebelum turun. -Sumbadra-  

Awalnya badai, bunga diselamatkan dari halaman lalu lupa dikembalikan hingga siang. Embun pun lewat. -Sinta-  

Embun yang mana? Di jalan berpasir berbatu-batu ini, bahkan rumput pun tidak ada. -Gendari-

Jangankan kaca, embun pun akan kuukir untuk membuatmu percaya. -Narasoma-  

*silent... Hmm... lalu kulitnya yang tembaga mengembun. -Gatotkaca-  

Embun itu apanya Mbun-mbunan, Truk? *aka ubun-ubun -Bagong-

Embun itu keringat Dewa, Gong. Keringat Semar. Ya kan Truk? -Gareng-  

Bukan, kalau dari baunya, embun ini keringat Wisnu. -Petruk-  

Hayo anak-anak, siapa bisa mengumpulkan embun paling banyak, boleh sarapan duluan. *gubrak grudak gruduk. -Semar-

Bukan menangis, kebetulan embun jatuh di sudut mataku. -Arjuna-  

Embun? Aku sudah lupa. -Gendari-  

Memang tak segempita hujan, tapi embun jauh lebih rata jatuhnya. -Bisma-

Ksatria pantang menangis, air matamu bukan embun. -Kresna-  

Kamu itu, jangan jadi payung yang cuma menghalangi embun. -Dursilawati-  

Selamat Natal dan Tahun Baru. *dari panggung yang berembun. -dalang-

#harinidwani

Harinidwani | nama lagunya | untuk kita nyanyikan. | Tentang seorang | Putri Giyanti | nama Hagnyanawati.

Boma melamar | dan menikahi | meski Putri tak cinta. | Sebab hasratnya | pada Si Samba | bukan kepada Boma.

Pangeran Samba | putra Sri Kresna | yang amat dimanjakan. | Sedari kecil | tak sekalipun | direlakan kecewa.  

Maka baginya | tak ada soal | jika harus merebut. | Yang dia tahu | cuma cintanya | pada Hagnyanawati.  

Maka di hari | perkawinannya | baru Boma merasa. | Ada yang salah | meski terlanjur | dia akan mengalah.

Akan menyerah | dan menyerahkan | istri pada adiknya. | Sebegitu pun | kerelaannya | Samba tetaplah Samba.  

Bebal rasanya | buta hatinya | tak mampu sabar menunggu. | Samba menyusup | menyelingkuhi | menuruti dahaga.  

Haus yang panas | berapi-api | mengobral harga diri. | Boma bukannya | tak tahu itu | tapi memilih diam.

Tapi memilih | mengalah saja | menyadari nasibnya. | Belumlah rampung | karena alam | menuntut tak terima.  

Di hari itu | tanpa rencana | terjadi peristiwa. | Hati menggelap | dendam meluap | Boma membunuh Samba.  

Antara bingung | dan lupa diri | begitu tiba-tiba. | Kasih sayangnya | sakit hatinya | dan buas raksasanya.

Lima dan Lima | tujuh menyusul | tujuhbelas kecapnya. | Harinidwani | nama lagunya | dan pesta pun terbakar. *homage to

Tuesday, December 27, 2011

#kusumastuti

Sesudah pekat langit | lalu hujan kembang | Telah berapa lama | gerah menderamu | Mula-mula keringat | lalu rintik-rintik.

Gerimis mengarsirmu | dan lalu menggenang | Menggenapkan kuasan | lapis-lapis warna | Meja kursi beranda | batinmu yang rindu.  

Kusumastuti ini | biarlah menjadi | Pengisi waktu sela | yang mengusir bosan | Setelah semalaman | resah menunggui.  

Tujuh langkah pertama | enam berikutnya | Tigabelas utuhnya | dan jadilah tembang | Lalu harum tercium | Kusumastutimu.

Tapi mekar dan layu | apa istimewanya | Taman yang dulu mimpi | kini mudah basi | Bunga sudah di tangan | tak menantang lagi.  

Jika boleh bertanya | benarkah begitu | Setelah petik bunga | banyak yang dilupa | Habis bunga dibagi | pohon mati suri.  

Bukan salah Si Putri | tapi tukang kebun | Luput ayunan sabit | meleset melesat | Gagal mengayuh musim | yang urung berkunjung.

Jangan diambil hati | bukan apa-apa | Cuma tembang tertimbun | sekedar menggali | Mengenalinya lagi | Mari mari mari.  

#kapan

Kapan kira-kira, Bima gigih berperang bukan karena kematian Gatotkaca, Karna maju tanpa harus membesar-besarkan luka lamanya.

Kapan Arjuna membulatkan tekadnya, membentangkan busur tanpa berpikir mungkin salah satu panahnya menyasar ke peraduan Banowati.  

Kapan Durna gugur tanpa harus ditipu terlebih dahulu, kapan Setyaki merasa malu karena kemenangannya yang dibantu Arjuna itu.  

Kapan-kapan... kita berjumpa lagi (eh)... Apakah Kresna mampu menjelaskan berbagai kejadian yang sering membuat kita bingung itu.

Atau disengaja, agar ini tidak dimaknai sebagai tujuan tapi sekedar pemberhentian sementara, agar perjalanan diteruskan. Tapi kapan?  

Kapan-kapan kalau jadi menang di Baratayuda, semoga tidak habis impian oleh fajar yang benderang tiba-tiba. *ayak-ayakan  

Friday, December 23, 2011

#ibu

Nada merawat dan mengasuhku, setahuku dialah ibuku. Lama-lama kuakui juga, Kunti, yang membuang bayinya itu ibuku pula. -Karna-

Aku membunuh ibuku. Ia gagal membuktikan surga di telapak kakinya. -Parasu-  

Ibu Kunti kami tak sekedar seorang ibu, tapi juga ayah. -Puntadewa-  

Ibuku meninggal saat melahirkanku, bodoh sekali kalau kau masih bertanya bagaimana perasaanku terhadapnya. -Kresna-

Seorang perempuan yang adil kepada seratus anaknya. Mana ada yang seperti itu kecuali ibuku. -Duryudana-  

Ibuku Dewi Pertiwi, dewinya bumi. Dia Istri Kresna. Aku tak punya ayah. -Boma-  

*silent... Hmm... I love you Mom (dalam hati). -Gatotkaca-

Jadi Raden, kau mau bertemu aku atau Banowati ibuku... -Lesmanawati-  

Jangan menyakiti ibumu, hukumannya seumur hidup. -Arjuna-  

Ibuku Ilalang, aku tidak mau menjadi padi. Hanya akan membuat dia tersingkirkan. -Narasoma-

Sepertinyaaa... Ibu kami ibu Semar juga. -Gareng, Petruk, Bagong- *Semar cemberut manja.  

Ibu Bumi Bapa Akasa. Pada Ayah kami menengadah, pada Ibu kami bertumpu. -idhep-  

#bangsapatra

Empat suku | enam yang menyusul | tujuh lalu mengunci. | Bangsapatra | lagu lama ini | membangunkan lelapku.

Lelap kata | bukan senyap rasa | deru debar jantungku. | Remang-remang | pagi yang mencuri | gelap penghujung malam.  

Samar terang | juga bening embun | kabut lembab yang hangat. | Tanah basah | jejak-jejak langkah | lalu lalang rencana.  

Bangsapatra | yang sesingkat ini | cukup sudah kiranya. | Cicipilah | semoga harimu | mengharumi udara.

#jaladara

Kakrasana putra Basudewa, menyepi di gunung sepi yang dingin, Argasunya. Mencari jawaban, kenapa amarahnya begitu mudah tersulut.

Kenapa ia begitu mudah terpancing lalu luput mengukur, menakar sampai batas mana bisa menahan diri. Tahu-tahu dadanya berapi.  

Pernah suatu kali, setengah menggoda, Narayana adiknya berucap. "Untuk sementara, Kakang Kakrasana jangan sering-sering mandi."  

Kakrasana tidak membantah, tapi juga tidak melakukannya. Yang benar saja. Yang ia tahu, marah itu api maka air akan memadamkannya.

Maka tiap kali marah, Kakrasana mengguyur kepalanya. Narayana cuma tersenyum sambil melintas. "Bukan ituuu..." teriaknya.  

Di Argasunya, Kakrasana waspada, menunggu percik api di dadanya menyala, tapi membiarkan panas menghanguskan rasa sakitnya.  

Brama turun, sekejap, sekilat, "Api di dada padam oleh air di dada pula." Antara sadar dan tidak, ada cahaya menyusupinya.

Kakrasana terbangun, bergegas turun gunung. Saat bertemu Narayana, adiknya itu menggodanya lagi, "Benar kan? Bukan mandi kan?"  

Kali ini Kakrasana tidak marah, ia mengambil segayung air, mengguyur kepala Narayana, dan Udawa yang tidak tahu apa-apa. *hahaha

#bantah

Bima: Kau terlalu sering memuji Arjuna. | Kresna: Aku cuma memastikan apakah dia masih orang yang sama, yang tidak gampang muntah.

Bima: Kenapa kausuruh aku memukul paha Duryudana. | Kresna: Memastikan kau rela mengalami hidup yang serba tak sempurna. Sempurna.  

Bima: Aku percaya Durna. | Kresna: Boleh, tapi kalau suatu waktu dia hianat, adakah siapa yang kaupercaya?
 
Bima: Aku ingin percaya padamu, tapi kau sering mempermainkan kami. | Kresna: Tiap orang memiliki hal untuk keraguannya.  
Bima: Jadi kenapa kau bersikeras mengatur-atur semuanya? | Kresna: Siapa yang bersikeras, kau boleh tidak menurut. Coba saja.  
 
Bima: Hmm... | Kresna: hihihi | Petruk: Ngobrol kok gak urut. | Kresna: Iya, ini obrolan perca. | Petruk: Saya sih percaya saja.
 
 

#sandinyolko

Petruk: Gong, mana lebih tua, Minggu apa Senin? | Bagong: Tua neneknya, Truk.

Petruk: Gong, mana yang lebih memabukkan, rayuan atau pujian. | Bagong: Keringat Semar.  

Petruk: Gong, kenapa Raden Gatotkaca terbang? | Bagong: Masa mau melompat kaya bapaknya, Truk.  

Petruk: Gong, kenapa kentut Semar bau? | Bagong: Ya masa cuma pikiranmu yang begitu, Truk.

Petruk: Gong... | Bagong: Sorry, aku rebab Truk, enak aja.  

Petruk: Gong, kenapa Karna dibuang ibunya? | Bagong: Ya bener, Karna dibuang ibunya Truk.  

Petruk: Gong, pilih mendaki atau menyelam? | Bagong: Menyanyi aja. *wis Truk. Ingsun krasa arip iki.

Petruk: Goonggggg *dan menyusul kemudian, 17 dengung. Coda. Suwuk. Getar masih, tapi 0 dB.  

#diary

Dewabrata, aku tidak sakit kini, saking sakitnya jadi sakti. Seuntai Melati Sakti. Itu aku. -Amba-

Atas alasan apa kita terpisah? Aku lupa, dan hanya ingin mengingat yang sebelumnya. -Dewabrata-  

Bolehlah kau mengerti sepotong demi sepotong, asal tawamu tidak membuat nalarmu berhenti merangkai. -Kresna-  

Aku pun ingin menulis, tapi tepat saat pena hampir menyentuh kertas, aku tak ingin lagi. -Puntadewa-

Terlalu banyak untuk ditulis. Bagaimana kalau... kapan kau ada waktu? -Banowati-  

Kalau kau takut ditipu oleh matamu, maka jangan hanya melihat. -Kunti-  

Marah menumpuk menjadi dendam? Bukan. Dendam membuatmu gampang marah. -Aswatama-

#sandinyolko

Kahyangan Berawan, Wirata Hujan Amarta Cerah, Alengka Bubrah.

Jalur Hastina-Alengka Macet, Amarta-Wirata Padat Merayap, Amarta-Jakarta Belum dibuat.  

Wirata Kemarau, Alengka Penghujan, Hastina Banjir, Amarta membangun. Membangunkan Jakarta.  

Alengka Kebakaran, Kahyangan Berawan, Hastina Hujan Asam, Amarta Hujan Asap. As soon as poss... dst.

#jambu

Di Pulau Jambu, di bawah pohon samping Pendapa yang mulai lapuk atap sirapnya, di hamparan benang sari bunga jambu yang bertebaran...

Puluhan bocah memunguti kerikil. Wajah-wajah Pandawa, Kurawa, Raksasa dan Dewa berbaur, ringan tanpa beban mendengarkan bualanku.  

Aku mulai bercerita, tentang sebuah taman bermain tanpa pagar sehingga tak perlu melompat untuk berada di sana. Taman tanpa pintu.  

Bocah-bocah meloncat, melompat secepat katak, berkecupak, berenang seakan ikan di balik kuntum teratai, menuju batu, mengusir udang.

Aku masih membual, menceritakan apa saja, sekedar mengisi kekosongan, entah kekosongan siapa, mungkin punya kita yang tua-tua.  

Kita yang memilih memagari taman dan menguncinya, lalu bocah-bocah itu jadi tahu bagaimana menerobos pintu. Kita terkejut, berlanjut.  

Lalu pagi mulai panas. Mereka masih asyik bermain, kita sudah jengah dan lelah, mengendap-endap silam, mengambil jalan pintas.

Wajah-wajah mereka mulai mengeras. Pandawa, Kurawa, Raksasa dan Dewa-dewa. Mereka ada di mana-mana, juga di bawah pohon jambu ini.  

Bualanku kuakhiri. Jambu belum matang, para pendatang sudah tak sabar, bergantian melontarkan pujian. Bocah-bocah terkepung.  

Mereka dipaksa memikul kegagalan yang tua-tua, diperas keringatnya hingga aromanya menjadi demikian dewasa. Jambu-jambu gugur.

Yang tertinggal mulai matang, tapi tak lagi menarik perhatian. Semua orang terlanjur kenyang. Di Pulau Jambu, wajah-wajah tersedu.  

#isengpol

Sapi Nggiring Wengi, Anjago... Ngisepi Samun.

#sempalan

Hujan saja bisa bikin pelangi, apalagi keringat...

Pengikut saja ditawar, apalagi pemimpin...  

Kalau di terang tak kelihatan, apa sebaiknya digelapkan saja supaya terdengar...  

Peluit saja sakti di lapangan, masa pidato cuma sakti di ruangan?

Sekali lagi, hujan saja bisa bikin pelangi, apalagi keringat... apalagi yang menetes dari singgasana... kan tinggi...  

Kenapa semboyan bisa awet muda, sementara slogan belum muda keburu renta...  

Wayang saja bisa bikin ngantuk, apalagi dalang...

Pacar saja tidak dipercaya, apalagi hakim...  

Dua setengah tahun itu cukup lama, lebih dari cukup untuk bunuh diri... Paham gak sih Pak?  

Ada kalanya, sepurnama apapun bulan yang kita siapkan, hanya orang tertentu yang merasakan, karena langit sedang mendung.

Thursday, December 22, 2011

#pungun

Gampangnya, anggap saja sebagai 'separuh terbangun'... baik dari mimpi buruk, indah maupun basah. Juga dari lelah yang parah.

Pungun-pungun Arjuna bangun dari alpa, bangkit dari keluh kesah berkepanjangan setelah Banowati dipersunting Prabu Duryudana.  

Pungun-pungun Bima sadar dari pingsan. Di penghujung Baratayuda, gada Duryudana telak menghajar rahang keyakinan menangnya.  

Pungun-pungun Kumbakarna saat jutaan kera menyerbu Alengka. Hatinya belum lagi sembuh, naluri raksasanya telah menggerung geram.

Pungun-pungun Anoman tawar dari racun cinta Sayempraba, tapi hatinya terlanjur cuwil, gempil, serpihannya tercecer di pintu gua.  

Pungun-pungun pengantin baru terbangun, dan masih kaget melihat seseorang disampingnya. Ingatan menghianati peristiwa semalam.  

Baiklah, lebih gampangnya begini, pungun-pungun itu menjelang bangun, kalau liyep-liyep menjelang tidur. Kurang lebih begitu.

Kalau besok pagi bertemu dengan pungun, mari iseng bertanya. Dia dan liyep ada hubungan apa ya... *salam

#obong

Hari-hari lewat begitu saja, begitulah Rama merasa sejak Sinta diculik oleh Rahwana. Banyak yang berubah, tapi tidak dengan batinnya.

Dendamnya pada Rahwana awet muda. Dendam pengantin baru yang dipisahkan paksa. Umur bertambah, tapi tidak dengan sejarah. Marah.  

Pucuk hatinya terlanjur hangus dibakar prasangka. Hari yang gerah di Pancawati. Rama dan jutaan kera yang menunggu titah. Lukisan.  

Sementara, Sinta dikepung rayuan di sana. Samar-samar tembus ke seberang laut. Sontak Rama menggerung, melepas cincin. Diam badai.

Kera mana saja yang mampu mengantarkan cincin ini secepatnya, majulah. Anoman lima belas hari. Anggada seminggu. Lima, tiga, semalam.  

Dari bukit ke hamparan pasir, dari pasir ke karang, dari karang, satu lompatan berikutnya, Anoman sampai ke seberang. Ibukota.  

Dari pasir ke dahan, cabang ke ranting, dari atas pohon Nagasari, Anoman meluncur turun. Seorang perempuan menyambutnya. Inikah?

Lewat mata keranya yang waspada, Anoman tahu, bening di sudut kerling Sinta telah membatu. Ia tak mampu memandangnya. Tunduk.  

Cincin diserahkan. Anoman tahu, Sinta kecewa. Kini telah terlalu longgar. Sesaat, cincin itu telah terpasang di ibu jari tangan kiri.  

Dengan tangan yang sama, Sinta melepas kancing gelung, mengurai rambutnya. Rambut yang membangkitkan hasrat, tergerai sudah.

Kancing gelung diserahkan, Anoman gemetar. Sinta silam tanpa kata, wanginya saja yang tertinggal. Di seberang, Rama terbangun.  

Digerakkan oleh napasnya yang tiba-tiba memburu, Anoman mengamuk. Taman Soka diobrak-abrik. Besok, rayuan Rahwana akan tertunda.  

Geger di Alengka. Ratusan raksasa penjaga mengerubut, yang lain lintang pukang belum paham, menyambar senjata. Perang. Perangkap.

Indrajit, anak Rahwana yang sakti meringkus Anoman. Kera itu dihajar, diseret, diikat dan kini telah berada di tumpukan kayu bakar.  

Api kemarahan Rama yang menyulutnya, asmara dahana. Api meliuk seperti tembang. "Nyali seorang pencuri, dibatasi sembunyian, ...

... di taman bunga karaton, meski hatimu berpesta, sungguh tak akan lama, aku yang akan memburu, membakarmu dengan rasa."  

Api menjilat-jilat, seperti penjilat menjilati tapak kaki dewa-dewi. Anoman pulang membawa pesan, Rahwana tak jera-jera. *salam  

#kepancing

Gerhana bulan, Sinta tertipu kijang, matamu masih berair hujan.

#dadu

Entahlah, adik-adikku Pandawa. Hari ini kalian meminta ijin untuk berangkat ke Hastina. Akan ada permainan di sana. Kalian diundang.

Harus ada yang tinggal untuk memastikan Indraprasta baik-baik saja. Jika seorang raja berkelana, serta merta negerinya dalam bahaya.  

Ini akan panjang, maka sebaiknya kalian kulepaskan. Sepahit apapun nantinya, jangan kausesalkan. Karena memang perlu dan harus begitu.  

Seperti umumnya perjudian, dadu yang akan menjadi penentunya. Maka perhatikan saja orang yang memutarnya. Selebihnya adalah nasib.

Di setiap pilihan, sebagaimana cabang, maka ranting di depannya adalah pilihanmu juga. Sepanjang tak lupa ketinggian, itu tak apa.
 
Bahkan jika harus terpeleset, kalian hanya perlu mengulang memanjatnya. Percayalah, karena aku sudah pernah. Itulah gunanya tanah.  

Maka Hastina adalah tegalan, arena pertaruhan, tempat bagi jiwa-jiwa untuk jatuh dan lalu tumbuh. Akan ada tahun-tahun yang panas.

Panas yang memurnikan, yang melebur bijih emas, menggenapkan karatnya. Kalian akan tercatat dalam sejarah, aku 'telah' membacanya.  

Jadi, semoga kaupahami, dadu di Hastina nanti, bukan soal kalah menang. Itu ranting seperti kubilang. Tumbuhlah. *peluk -Kresna-  

#laraireng

Kusumastuti ini | buatmu adikku | Bratajaya yang hitam | yang ikal rambutmu | Kudendangkan perlahan | nada sayup-sayup.

Sendu senandung dusun | nyanyian pematang | Gemericik aliran | di pekatnya lumpur | Agar adik tak lupa | pijakan pertama.  

Betapa waktu itu | tertatih langkahmu | Liku jalanan licin | di Widarakandang | Saksi kita berbincang | menuju Mandura.  

Adik masih remaja | belum ini itu | Belum kenal Arjuna | busur dan panahnya | Belum pernah terjatuh | di benderang kota.

Tentu bukan maksudku | mengganggu mimpimu | Jadi sederhananya | anggap saja angin | Yang iseng menerabas | lubang jendelamu.  

Semoga bisikanku | memahat hatimu | Bukan pahatan baru | itu gambar lama | Yang pudar tertutupi | kerak hari-hari.  

Adikku Bratajaya | tenangkan dirimu | Kusumastuti ini | sekedar pesanku | Demi Widarakandang | sisihkanlah waktu.

Wednesday, December 7, 2011

#mbaleni

Kladuk kebacut ucape padha sora... Swarane... Lumuh wirang becik wurung sepi sepa sedyane... -cangkiran-

Sedya tanpa tekad, kaya cebol nggayuh lintang... Alah lintang tanpa sunar, peteng dhedhet lelimengan. -cangkiran-  

Ceramah wae | Lha wong kowe ra bisa dikandhani | Ora ngono ngono ngono | Kudu ngono | Ngawur ngawur | Dadekna ngono. -cangkiran-  

Aja ngeyel dhasar rewel | Byuh keminter ngatur-atur | Iki tandha tresna | Kok nesu saben dina. -cangkiran-

Nesu nganggo dhasar | Dhasarmu ra nganggo tresna... -cangkiran-

#serapsurya

Sugeng Serap Surya... Baik yang sudah mandi maupun yang sudah dua kali.

Sugeng Serap Surya... Baik yang akan menang maupun yang belum pernah kalah.

Sugeng Serap Surya... Baik yang menjalani maupun yang menjalankan.

Sugeng Serap Surya... Baik yang berdua maupun yang diduakan.

Sugeng Serap Surya... Baik yang sudah Dewa maupun yang mendewakan.

Sugeng Serap Surya... Baik yang perang di hatinya maupun yang damai di lagunya.

Sugeng Serap Surya... Basanta sumurubing cakrawala... gya sumeleh nglungguhke rasa.

#sanditama

Beberapa orang baru bangkit setelah direndahkan. -Kresna-

Jika rumah tak berpintu, mungkin agar kau tak usah mengetuk. -Semar-  

Beberapa orang berhenti memanjat karena pohonnya tumbang. -Tremboko-  

Berbagi saat lapar dan berbagi saat kenyang itu berbeda. -Yudistira-

Sebagaimana simpanan pada umumnya, rahasia juga berbunga. -Hagnyanawati-  

Mendaki itu memburu pagi di tanah tinggi, sedang puncak dan matahari tak kemana-mana. -Arjuna-  

Sabar menumbuhkan daun, brutal mematahkan pokok pohon, dendam membusukkan akar. -Abyasa-

#pernahkah

Pernahkah kamu kesal di sebuah malam lalu paginya menyesal? -Utari-

Pernahkah bidikan panahmu digoyahkan oleh napasmu yang memburu? -Karna-  

Pernahkah tubuhmu dibanjiri gerah, sementara hatimu menggigil? -Banowati-  

Pernahkah kemenangan membuatmu merasa kalah? -Arjuna-

Pernahkah tawamu menghentikan tawa orang lain? -Semar-  

Pernahkah tangismu ditertawakan? -Drupadi-  

Pernahkah senyummu membuat seseorang kecewa? -Pandu-

Pernahkah kau muntah karena madu yang terlalu pekat? -Hagnyanawati-  

Pernahkah kau dikejutkan oleh kesunyian? -Parasu-  

Pernahkah langkahmu disalip oleh kenangan? -Bisma-

Pernahkah kau kehilangan di sebuah pertemuan? -Kunti-  

Pernahkah kau disesatkan oleh gugusan bintang? -Boma-  

*silent... Hmm... Cukup sekali.

Pernahkah kau bersaing dengan rumput untuk setitik embun? -Abimanyu-  

#banjaransari

Ijinkanlah lagi | berbagi laguan | nama Banjaransari. I Yang sembilan belas | langkah suku kata | enam, enam dan tujuh.

Sembari mengingat | mari bercerita | bertukar-tukar kata. | Tentang perempuan | yang diuji dendam | sebut saja Pancali.  

Drupadi adalah | namanya yang lain | putri Prabu Drupada. | Yang dipertaruhkan | dalam perjudian | Pandawa dan Kurawa.  

Telah diniatkan | merebut Amarta |dengan tipu muslihat. | Rencana Sengkuni | membandari judi | negeri taruhannya.

Semula sambilan | selingan bersuka | bermain dan tertawa. | Lama-lama mabuk | hilang kendalinya | Sengkuni pun berjaya.  

Perhiasan emas | dan kereta kuda | prajurit dan senjata. | Menang lalu kalah | kalah lalu kalah | hangus dan kalah lagi.  

Puntadewa kobar | dibakar percaya | masih ada harapan. | Menyodorkan diri | dan saudaranya | dan Drupadi istrinya.

Sengkuni tertawa | karena si dadu | ada di genggamannya. | Diputarnya pelan | hatinya berbunga | angkanya telah pasti.  

Perjudian bubar | Drupadi diseret | ditelanjangi dengus. | Tatapan yang rakus | juga kemenangan | gelegak menggelombang.  

Pandawa menyurut | tersulut amarah | tersandung kekalahan. | Tersungkur tersangkar | terkurung hukuman | mematung tak berdaya.

Sedangkan Drupadi | dijambak rambutnya | dicampakkan kainnya. | Pancali menggerung | dalam keheningan | ruang dan orang-orang.  

Dikoyak setia | disayat baktinya | kepada Puntadewa. | Maka di matanya | bukan lagi air | tapi kabut yang pekat.  

Tidak pencar pudar | hingga perang tiba | lukanya terobatkan. | Juga rambut panjang | memulungi perih | yang cecer berserakan.  

Gegas yang menunggu | tahun-tahun lambat | dan ujian yang berat. | Namanya Drupadi | sekira bertemu | salamkanlah rinduku.  

Dendam bisa pudar | cinta bisa luntur | tapi tidak untuknya. | Mereka bercampur | tanpa pagar lagi | perang bukan balasan.

Belum habis kertas | lanjutkan sendiri | Banjaransari ini. | Masih banyak lakon | menunggu giliran | ingin kamu kisahkan. *dog

#irim

Irim-irim kudendangkan | berbaris tiga-tiga | empat bait panjangnya. | Duapuluh dua angka | delapan tujuh tujuh | kecap suku katanya.

Adalah senandung bunga | bunga apakah kamu | berbunga-bunga aku. | Warna seiring wanginya | mekar manakah kamu | musim apakah aku.  

Musimnya lalat merubung | juga kumbang terpasung | bunga alum melayu. | Lalu duri menegaskan | hari-hari terlantar | terkubur sia-sia.  

Akar-akar bertautan | mengucap lagi janji | menyerap lagi sari. | Sementara masih juga | tanah pecah membelah | dahaga yang kerontang.

Masih mekarkah di situ | sudah kumbangkah aku | si wangi sudah pergi. | Dengan cara apa lagi | kita saling bertemu | melara luka-luka.  

Meluruhkan daun-daun | meluruskan semimu | melaraskan kuncupku. | Hujan akan mengekalkan | lalu dan lalang kaki | sepi dan beku hati.  

Riuh rayu kerinduan | bait-bait harian | jalinan nada-nada. | Juga tawa yang menusuk | gelinjang yang menisik | ingatan yang menikam.

Terjaga aku olehmu | irim-irim lagunya | Darmawangsa masanya. | Tuntas sudah kulagukan | untuk satu penanda | kita pernah di sana.  


Irim-irim adalah format puisi lama (Masa Prabu Darmawangsa Teguh). Tiap baiit 22 suku kata (8-7-7) Terima kasih telah menyimak

#pagi

Yang menang pun yang menangis, mengenang segala menggunung maupun menggenang, selamat pagi.

Yang menggelung, pun yang menggelangi rambutnya, yang menangga tinggi maupun menunggu, selamat pagi juga.

Yang berpendar, pun yang berbinar, yang mencair hatinya, selamat pagi juga.

Yang berdua, yang berdoa, yang berdiyan berdaun-daun pucuk cintanya, selamat pagi jug and ga.

Yang membentuk, yang menumbuk, pun yang membatik masa depannya, selamat pagi juga.