Monday, February 13, 2012

#masem

Sumpah. Aku belum pernah dimainkan. Demikian kata seorang wayang yang baru rampung diwarnai. Iya kan? Tangkainya saja belum dipasang.

Bukan ingin dipuji. Tapi benar bahanku istimewa sekali. Kulit kerbau dari Jodhok, ditatah selama bertahun, dipulas turun-temurun.  

Oh ya. Ini prada dari kota, dalang-dalang banyak yang suka. Gak tahu kamu. Tapi bagaimana menurutmu? Apakah aku pantas naik panggung?  

Setidaknya simpinglah aku, tancapkan dekat gunungan. Sebagai pemula, sekedar dipajang pun tak apa. Ehm... Tapi jangan lama-lama ya.

Apa, belum masem? Apa itu masem? Oh, jadi harus tua dulu baru naik panggung? Bukan tua tapi dewasa. Ah, sama. Bilang saja tidak suka.  

Keburu wayang tak laku, jadi sia-sia aku menunggu. Jangan salah, bukan ingin bersaing. Bukan. Bukan itu. Sekedar ingin bersanding.  

Itu lho. Bima yang kauwarisi dari kakek buyutmu. Aku jatuh cinta. Emm... Apakah ada cara membuatku masem lebih cepat. Ada dong ya.

Sedikit siksaan tak apa. Aku bersedia. Lagi pula, untuk Arimbi, wayang sepertiku jarang ada. Susah kautemukan lagi pembuatnya.  

Atau, pradanya dikerik aja. Atau dihujan-hujankan... atau apa... Jangan diam saja. Katanya dalang... Jangan bikin wayang kecewa gitu.  

Tapi kalau memang demikian adanya, jika benar lakon-lakon tentang raksasa tak lagi jadi pilihan, jika kami hanya sekedar pijakan...

Aku akan mengungsi. Mencari dalang yang lain lagi... yang tak silau oleh prada, yang mampu mendewasakan yang muda sepertiku.  

Atau setidaknya, bersedia menua bersama... Merelakan malam untuk berbagi cerita... menemani mereka yang terjaga. *salam raksasa

#rindu

Itu hasrat yang menguap. Sampai ketemu sebagai derai hujan, atau embun. -Narasoma-

Perjumpaan yang terlalu kerap tapi bisu. Meluap seperti lagu tanpa syair. -Narayana-  

Abai yang palsu. Itu saja. -Sumantri-  

Sudah tahu kosong, tetap saja dijaga. -Laksmana-

Seperti wayang di kotak dan batang pisang di kebun. Butuh lakon. -nn-  

*silent... *senyum tipis. Udah. -Gatotkaca-  

Itu cuma sepi yang diikuti, dituruti, dimanjakan. Tak lebih. -Sengkuni-

Kau tahu. Buat apa kujelaskan. -Arjuna-  

Itu semacam luka yang menjanjikan bebat. -Sumbadra-  

Akar dan pucuk daun, antara lentik bulu mata dan riap rinding bulu kuduk. -Banowati-

Unggun yang menginginkan embun. Tak padam oleh deras hujan. -Suryatmaja-  

Sesat yang tak butuh mata angin. Semua arah adalah kenangan yang sama. -Bisma-  

Panggilan dari nun jauh. Tak terdengar, tapi menjagakan tidur. Menyesaki ingatan. -Utari-

Lumaku dalan padhang, numbuk-numbuk wayangan. (Menapak di jalan terang, menabrak-nabrak gambaran) -nn-  

Tiba-tiba begitu butuh udara. Begitu bukan? -Citrawati-  

Aku begitu sampai hari ini. Selalu ada yang datang lebih dulu. Aku terlambat? -Duryudana-

Sebenarnya hampir gila, tapi diam dan sopan. -Dursilawati-  

Ra diwulu, Na, pasangan Dha disuku. Wulu itu Rambut, Suku itu Kaki. Pasangan? Sudah jelas. *selamat maksi

#nada

Suara dan nada, mana yang lebih dulu? Itu pasti pertanyaan baru, setelah kita berasyik-asyik dengan lagu. Pemagaran. Penyempitan.

Getaran yang kekerapan gelombangnya tak terhitung, kita hanya menandai di beberapa tempat saja. 12 untuk piano, 5 dan 7 untuk gamelan.  

Tapi sebagaimana putaran, semua ada di garis lingkaran yang sama, cuma berbagi titik berhenti, yang lalu ditandai, disusun-susun.  

Dan jadilah lagu. Lagu tawa, lagu tangis, lagu rindu, lagu yang disematkan oleh kenangan langit ke pundakmu. Sebagaimana bintang.

Tak terhitung? Ya. Karena bahkan hitungan itu adalah titik henti juga. Banyak suara di sela-selanya. Jadi soal tembang sumbang?  

Tembang sumbang hanya berlaku bagi mereka yang terlalu percaya pada hentian, melupakan isian. Tembang ya tembang, sumbang cuma pagar.  

Soal di dalam apakah di luar. Sedang sebelum kita dirikan pagar itu, suara bebas 'melung' kemanapun, dengan atau tanpa hentian.

So, masih takut nembang... *jangan  

#jarak

Sengaja kita mengambil jarak untuk menyalami dan menyelaminya, kemudian tahu, apakah dia pagar, ataukah semaian. Kita tumbuhan?

Tumbuhan tak disemai dipagari, setidaknya pada mulanya. Tanaman yang sering mengalami itu. Kita tumbuhan yang berharap jadi tanaman?  

Setelah jadi tanaman, jarak adalah aturan untuk buah terbaik yang dihasilkan. Jadi, lama-lama kita bukan tanaman, tapi pembuah?  

Lalu untuk apa kita mengambil jarak. Atau justru kita yang tercuri olehnya? Mungkin karena kita terlalu dekat dan saling mendesak.

Tapi setelah cukup jarak, mari tak henti berharap. Tak tertidur oleh senyap. *salam  

#akar

Akar and The City. Akar and The Siti. Siti itu Tanah. Tanah itu Pertiwi. Pertiwi kita panggil dengan sebutan ibu. Iiiibu Peertiiwi.

Maka Ketawang itu pun mengalun, menerobos daun-daun, ranting, dahan, batang lalu menggaung di akar. Bergetaran butir Siti berdesir.  

Demikianlah. Yang serabut di permukaan, yang tunggang menjangkau kedalaman. Yang satu gampang dicabut, yang lain berdaun rindang.  

Yang satu menyelinap di sela badai, yang lain menantangnya. Kadang tumbang tentu saja. Iiiibu Peertiiwi... Dua-duanya dulu benih.

Benih alias Wiji. Wiji yang Thukul (tumbuh) merayapkan akar mencari celah di retakan tanah. Iiiibu Peertiiwi... jangan longsor lagi.  

Akar and The Siti. Tentu ada kecualinya. Benalu. Tapi tak semua benalu kita musuhi bukan? Kambing suka daunnya, kita suka bunganya.  

Tak peduli kita menempel, menyambung atau mencangkok pohonnya, mereka tetaplah akar yang sama. Iiiibu Peertiiwi... dicangkok lagi.

Jadi kalau sewaktu-waktu pohon ini tumbang, jangan salahkan akarnya. Pasti kita yang lupa berbakti. Oh... Iiiibu Peertiiwi... *gong

Friday, January 27, 2012

#kluruk

Pernahkah kau mendengar kokokan jago di ibukota rongga dadamu? Dia adalah Si Jago yang terdiam seketika saat ingin kauwartakan.

Kira-kira kenapa begitu? Apa maksudnya? Sedang kita ingin memperkenalkannya pada dunia, agar semua tahu Jago yang paling jagoan itu.  

Ternyata sederhana. Diam Si Jago adalah karena kita telah berkokok menggantikannya. Lalu sepi, lancur ekornya tumbuh lagi. *pagi

#kombongan

Kebagian peran apa malam ini Mbakyu? Kenapa guratan arang di alismu meninggi. Sedikit malas nampaknya, kau diam menyendiri.

Apakah karena perempuan muda yang sedang mekar-mekarnya itu? Tenang Mbakyu, dia pemula. Nembang belum bisa, bicara masih terbata.  

Ya... Jadi merasa makin tua dan tak lagi berharga Mbakyu? Merasa dihianati panggung yang mempertemukanmu dengan Kangmasmu itu?  

Gamelan sudah bertalu, kenapa tak segera kausanggul rambutmu? Baiklah. Nanti kau akan memberontak di panggung itu, di kisah itu.

Kucurkan saja air mata sakit hatimu, Kucurkan saja sebagai doa. Yang sedang kaucemburui itu, ingat Mbakyu, dia adik bungsumu.

#sempalan

Terlalu banyak kabar tak sampai. Mungkin itu sebabnya angin begitu sibuk, kesana-kemari begitu kencang.

Sunday, January 22, 2012

#sanditama

Tak masalah kauanggap aku penyulut, akan kujaga hingga matang. -Kresna-

Janji Bisma setara dengan bukti. Itulah kenapa aku menahan diri untuk patuh, tidak berperang selama 16 hari. -Karna-  

Tak ada kekuasaan diserahkan cuma-cuma. Untuk sejengkal Hastina, seribu kepala prajurit pun masih terlalu murah. -Duryudana-  

Masih ada anak-anakku yang membuat perang ini tetap ada lucu-lucunya. -Semar-

*silent... Baiklah... Aku memilih malam agar Arimbi ibuku tidak perlu tahu. -Gatotkaca-  

Tak ada yang ingin kukatakan. Aku gagal menjaga anak-anakku. -Arjuna-  

Benar damai itu punya pangkal, salah satunya perang. -Sengkuni-

Gerimis tengah hari ini sejatinya embun yang terlambat turun, sebab ksatria-ksatria pemalas bangun kesiangan. -Kresna-  

Rencana selalu lebih rajin dari ksatria manapun, setiap ksatria harus tahu rasanya kalah. -Bisma-  

Seribu panah, seribu kepala. Satu dendam cukup untuk jutaan. -Aswatama-

Bosan dan segan itu hal yang lain sama sekali. Aku sudah terlalu tua dan sering, kalian belum pernah. -Salya-

#orangwayang

boleh tidak pintar memanjat, tapi pantang takut ketinggian.

memaafkan musuh dan terutama, memaafkan teman.

boleh terbakar, tapi tak sampai patah arang.

boleh bermimpi seindah-indahnya, tapi tak takut bangun.

boleh senang dipuji, pantang lemah digunjingkan.

suka membaca, tak segan membacakan.

boleh adu cepat, boleh tersandung, pantang menjadi sandungan.

boleh bosan menunggu tapi tak segan mengais isian waktu.

boleh makan enak tapi tak segan berbagi lauk dengan anjing jalanan.

boleh pendiam tapi tidak berdiam diri.

#kantu

Kantu itu jika yang kaubutuhkan lebih dari yang tersedia. Berlari... belum habis putaran, tapi telah habis napas, maka butuh waktu.

Terlalu banyak kerja terlalu sedikit waktu, kantu juga akhirnya. Beberapa pekerjaan menunggu kebagian waktu. Apakah cuma soal waktu?  

Bukan. Terlalu tinggi cita-cita sedang kita tak bersayap, juga belum tahu cara membuat tangga. Merasa benar tapi gagal menjelaskan.  

Kadang kita begitu semangatnya sedangkan ruang masih terkunci. Maka kantu adalah tertunda. Sungai yang siap banjir tapi kurang air.

Jika kantu menggunung, kita makin jauh dari laut, sementara perahu sudah menunggu. Tuh kan... Kantu kan? *ambil napas gerak lepas.

#sanditama

Sekiranya selucu-lucumu tak juga membuatnya tertawa, sesungguhnya telah kautangiskan aku. -Arjuna-

Seperti umumnya, laki-laki marah lalu menyesal, perempuan menangis lalu malu. Kita tidak istimewa. -Kresna-  

Kalian laki-laki, kenapa makin tidak bisa menyimpan tangis. Itu hak kami. -Bratajaya-  

Maka sepatutnya kita berterima kasih pada pagi yang menyegarkan. Menjernihkan. -Kresna-

Jangan kecil hati, bayi juga menangis dulu, baru tertawa. -Semar-  

#obong

Riuh sorak-sorai prajurit kera, Sinta melintasi kobaran api dengan tenang. Sejak Anoman membakar istana Alengka, ketakutannya musnah.

Upacara yang tak seberapa lama sesungguhnya, tapi cukup untuk membasuh kenangan tentang perang yang baru saja usai. Pembuktian.  

Api memang tak pandang bulu, membakar untuk memurnikan apa saja. Maka Sinta sedang menakar sekotor apa dirinya setelah sekian lama.  

Api mengantarkan Sinta keluar dari kobaran, utuh. Unggun raksasa dipadamkan, giliran Rama yang terbakar. Dari dalam. *sekian

#sanditama

Sebagaimana Baratayuda... peperangan paling kejam justru seringkali terjadi di antara saudara. -Kresna-

Perang tetaplah perang... Yang menang hanyut, yang kalah tenggelam. -Salya-  

Perang selalu menyesakkan... Terlalu banyak dendam dan amarah yang membusuki udara. -Bisma-  

Prajurit hebat menaklukkan banyak musuh, tak terkecuali kepuasan yang membuaskan hatinya. -Puntadewa-

Sebelum perang pecah di medan, kemenangan telah mukim di dadamu, atau kekalahan. -Matswapati-  

Seburuk-buruk perang adalah perdamaian yang menipu. -Drupada-

#diary

Jarak sering membuat kita salah kira... Saat gerhana kadang kita memaksa mengirimkan warna bunga dan bukan wanginya... -Suryatmaja-

Wangi bunga sering membuatmu lupa jarak dan hanya akan membuatmu jarang berkunjung... Maka kukirim cuma warnanya. -Surtikanti-  

Bunga bangsa... Ya ya ya... Mari kita tanam dulu pohonnya. -Kresna-  

Bunga desa... Ya ya ya... Mari kita lindungi... -Petruk- *ditoyor Kresna

Kau menghiburku, memanggilku Mawar... berkali-kali... Maaf... kenang saja aku sebagai duri... -Sarpakenaka-  

Bunga pinjaman... Ayooo... jangan sampai mekar... -Bagong- *dihajar Gareng  

Ya, aku sering disesatkan bunga, tak jarang salah ladang. -Arjuna-

*silent... Hmm... Ya... wangi... -Gatotkaca-  

Bunga bangkai... bukan karena wanginya... Sudah tugasku. -Sanjaya-  

Telah cukup lama Wijayakusumaku tak berbunga... Sedang sedih? Nggak... Sedang sibuk. Oh ya? -Setyaboma-

Bunga mestinya mekar di hutan, yang di taman tidak merdeka, tanya saja. -Citrawati-  

Madu bunga dicecap kumbang, tetap manis... Lalu dirampas manusia... Selanjutnya manisnya... gula. -Kripa-  

Selamat pagi... Semoga tak cuma berbunga-bunga... tapi juga bekumbang-kumbang... -nn-

#pocapan

Dog dog dog dog bukan anjing tapi suara dodogan, lalu sebuah suluk diselesaikan. Waktunya pocapan. Pa-ucap-an. Penceritaan.

Pergunjingan apa lagi hari ini. Oooong... Gonjang-ganjing negeri yang kaubangun dalam kepalamu, guncang-guncang di pundakmu.  

Baju sudah dikenakan, ikat pinggang dikencangkan, rencana-rencana disusun, masa depan berkelebat dibayang-bayangkan. Oooong...  

Mimpi apakah yang selalu membuatmu terbangun itu... masihkah tentang petir yang menyambar pelangi... Oooong... ketakutan lagi...

Ada Gatotkaca di deras hujan tugu Pancoran, kuyup tubuhnya... Oooong... Ada Antareja di ladang-ladang yang kini ditambang...  

"Tolong turunkan akuuu..." berteriak Gatotkaca. Antareja diam, dia sedang menolong penduduk yang kampungnya tertimbun longsoran.  

"Tolong turunkan akuuu..." Oh... Bukan Gatotkaca... suara siapa lagi itu. Benarkah? Dari Monas... Atau Senayan... Oo Bukaaaaan...

Itu dari negeri yang mengguncang-guncang pundakmu. Kita tertidur oleh buaian. Baik-baik saja... Oh ya... *ngomyang  

#padi

Banyak padi roboh terlalu muda oleh badai, tak sempat merunduk, menularkan ilmunya.

Paling sering digunakan untuk lambang calon kepala desa, dipaksa bermusuhan dengan nanas, kelapa dan yang lainnya.  


Menjadi sulit, karena padi sudah diborong tengkulak sedari berbunga. Gabah sudah tidak merdeka semenjak lama.  

Gabah jadi beras jadi nasi jadi tenaga jadi kerja jadi harta. Jadi cinta?

Jadi perang. *hmm

Padi dilarang melahirkan anak yang hebat di rumah sendiri. Yang nekad dihukum. So, masa depan termasuk yang sudah dijual?


Dewi Sri, Dewi Padi. Di wayang ada lakon Sri mulih (Sri Pulang), di pop jawa ada Sri Minggat. Di negeri ini juga ada Sri Pergi.

Jadi soal Dewi Sri ini, kalau balik tapi bukan untuk nasib sawah dan petani, lebih baik tidak usah saja. *bersih desa

#767

Mari menggurit lagi | lagu suka-suka | sekedar bergembira. | Gambarmu dan gambarku | berkelebat sigap | bersegenap cahaya. #767

Cahayu sebut saja | sejenak namanya | menyanyilah yang lama. | Lumat dan lumat lagi | lugaskanlah kata | ketar-ketir rindumu. #767

Demi hari dan minggu | menggenapi bulan | bilik-bilik senyummu. | Senyampang masih ada | idaman membekas | membeku di jendela. #767

Dalamkan dalam akar | ukiran berlapis | selepas musim semi. | Semampunya berlari | berlara menari | meniru ikan-ikan. #767

#sandiclekit

Tidak ada kata terlambat untuk sombong, paling nanti akan merasa terlambat untuk rendah hati. -Tejamantri-

Maaf-maafan itu 0-0, seri, masih ada perpanjangan waktu. Permainan belum berakhir. -Tejamantri-  

Ada pemenang yang tidak bahagia. Menang sekali lalu takut untuk bertarung lagi. -Tejamantri-  

Teman itu berharga? Berharga? Maksud loh? -Tejamantri-

Daun memasak untuk seutuh pohon, sedang akar karena tidak nampak sering dilupakan. Buat kita, buah pemenangnya. -Tejamantri-  

Clekit clekit clekit. Break. Melanjutkan perjalanan. *salam -Tejamantri-  

#takon

Cintamu itu menunggu dituduh atau kautuduh sendiri?

Kalau lapar, mana yang lebih dulu kamu isi, matamu, perutmu atau apamu?  

Supaya sepi, kamu menyepikan diri atau meramaikan sekitarmu?  

Rahasia itu kamu telan, kamu lipat atau kamu tabung?

Buatmu, menjalani hidup itu menelusur jalan atau menghemat bekal yang terus berkurang?  

Kepuasanmu itu warna-warni atau hitam putih?  

Menurutmu mendung itu bagian dari rencana atau kejutan?

Lupa itu tak sengaja atau karena sedang sepenuh mengingat lainnya?  

Kalau lagi memuja senja, sempat ingat pagi nggak?  

Kira-kira, kesiangan itu, kamu yang mengabaikan pagi atau dia yang pergi duluan meninggalkan?

Nah, kalau kepagian, kira-kira karena terlalu semangat atau sengaja mau ngasih lebih?  

Baju itu untuk menutupi atau untuk menunjukkan dengan sopan?  

Kacamata gelap itu untuk lebih banyak dilihat atau untuk mengintip di tempat terang?

Kresna: Udah, jangan kebanyakan nanya. Just do it. *lalala

#kataksini

Wil Kataksini, raksasa penjaga pantai Alengka. Tubuhnya licin berlumut, tak tenggelam oleh dalamnya laut. Yup. Gede banget.

Kataksini Kecebongsana... Hush... Jangan gitu dong. Respek dikit lah. Biar raksasa, dia nggak makan daging darat, cuma ikan.  

Mengaduk lautan, memabukombakkan ikan. Ikan nggak mabuk laut kan? Ikan-ikan sempoyongan, Wil Kataksini berpesta sekenyangnya.  

Pagi udang, siang kakap, malamnya tenggiri. Pagi berdendang, siang bercakap, malamnya menari. Tentu saja versi raksasa.

Minumnya? Pagi susu, siang madu, malamnya coklat. Pagi rindu, siang cemburu, malamnya minggat. Hrrrr... Ok ok. Stop. Dia marah.  

Baiklah. Dia raksasa yang sebagaimana umumnya, buas dan beringas. Benarkah dia raksasa laut? Bukan. Lalu kenapa di laut?  

Kan udah tadi. Dia menjaga pantai Alengka. Ok. Kenapa nggak mentas sesekali. Mentas, keluar dari air, bukan pentas. Iya. Kenapa?

Jangan terkejut atau pura-pura terkejut. Kaki Wil Kataksini diikat ke gunung karang. Raksasa pun mengalami deritanya sendiri.  

Ok. Cukup dulu. Wil Kataksini mau makan siang. Jangan diganggu. Kasihan. *yo ayo ayo ayo  

Friday, January 6, 2012

#wrehatnala

Urwasi mengutuk Arjuna menjadi banci di tahun ke-12 masa hukuman Pandawa seusai permainan dadu yang kotor. Masih setahun lagi.

Setahun itu adalah masa yang sulit. Pandawa harus menyamar, bersembunyi di keramaian. Jika ketahuan, harus mengulang hukuman.  

Maka penyamaran itu pun dimulai. Puntadewa menjadi lurah pasar bernama Kangka, Bima menjadi tukang jagal bernama Bilawa.  

Arjuna menjadi guru tari bernama Wrehatnala. Nakula jadi tukang kuda nama Damagranti, Sadewa jadi Tantripala penggembala sapi.

Wirata, kerajaan besar yang diam-diam menjadi incaran Duryudana. Di sanalah Pandawa bersembunyi dari kejaran Kurawa.  

Oh. Lalu di mana Drupadi? Di Wirata juga, menjadi pelayan Dewi Utari. Ia berganti nama menjadi Salindri. Masih tetap cantik.  

Hari demi hari, aman-aman saja. Tinggal tiga hari lagi masa hukuman itu pun usai. Wirata kisruh, Kencaka dan Rupakenca hianat.

Mereka menantang Matswapati untuk mengadu jago. Jago tanpa taji. Adu manusia. Rajamala di pihak Kencaka. Wirata belum siap.  

Matswapati menyuruh Seta mencari tandingan. Ia menemukan Bilawa di Pejagalan, yang kemudian dikenalkan sebagai anak Warakas.  

Pertarungan seru. Taruhan yang seru. 'Bur Manuk'... Yang kalah harus pergi meninggalkan semuanya, yang menang berkuasa.

Bilawa menang. Rajamala mati. Kencaka menceburkan mayatnya ke Sendang Watari. Rajamala hidup lagi. Perang, mati, hidup lagi.  

Atas nasihat Semar, Wrehatnala membakar sendang itu dengan panah Bramastra. Di kematian berikutnya, Rajamala gagal hidup lagi.  

Jago mati, Si Tuan hilang kendali. Kencaka mengamuk, memburu Bilawa. Ia terhenti oleh kecantikan Salindri. Terhenti. Lupa diri.

Semula memburu Bilawa, kini Salindri. Salindri mengelak, mengaku telah bersuamikan jin penunggu pojok benteng Wirata.  

Jin itu, tak lain adalah Bilawa yang kemudian membunuh tak hanya Kencaka tapi juga Rupakenca. Salindri yang jadi terdakwa.  

Matswapati mengusirnya, Salindri meminta keringanan tiga hari. Permintaan itu dikabulkan. Selamatlah Pandawa. Hampir saja.

Selesai? Belum. Baru akan seru. Tapi tunggu dulu. Waktunya secangkir kopi. Sementara, mari nikmati barang se'gendhing'.  

Oke lanjut. Hehe. Wirata baru saja lolos dari bahaya. Tapi masih ada yang mengancam. Duryudana dan Susarma siap menyerang.  

Duryudana merasa perlu untuk menaklukkan Wirata, menegaskan kebesarannya sebagai Raja Hastina. Susarma punya alasan sendiri.

Sejak lama ia menaruh hati pada Dewi Utari. Ya. Tentu saja tak berbalas. Mereka bersiap. Susarma menyerang lebih dulu.  

Wirata tidak siap, terdesak hebat. Matswapati tertawan. Wirata di ujung tanduk. Kangka tanggap dan menyuruh Bilawa bertindak.  

Singkat cerita, Susarma mati. Kejadiannya terlalu cepat, Matswapati tak sempat menyadari yang terjadi. Ia pingsan beberapa lama.

Aman? Belum, karena Kurawa menyusul menyerang. Kali ini Wirata benar-benar kewalahan. Matswapati menyuruh anak-anaknya lari.  

Ke mana Wrehatnala? Dia hanya guru tari, siapa yang akan percaya padanya untuk peperangan sehebat ini. Tidak juga Wratsangka.  

Anak Matswapati yang lain itu telah bersiap, mengajak Utari untuk berkemas dan segera melarikan diri. Utari menolak pergi.

Wrehatnala, dituntun oleh sifat dasarnya, mempertanyakan keputusan Wratsangka. Ksatria, mestinya tidak seperti itu. Memalukan.  

Wratsangka murka. Tahu apa banci penari ini soal perang. Tangannya terlalu gemulai, bahkan untuk sekedar mengangkat busur.  

Kalau pun benar begitu, kenyataannya Wrehatnala bersedia, berani untuk maju. Bagaimana dengan Wratsangka? Bukti lebih penting.

Dipermalukan seperti itu, keberanian Wratsangka terbangkit. Ia masih berkilah, tak ada kusir yang akan membawanya ke medan.  

Wrehatnala menyediakan diri. Ia mengaku pernah menjadi kusir Arjuna. Lebih dari cukup untuk sekedar mengusiri kereta Wirata.  

Setengah ragu-ragu tapi terlanjur malu, Wratsangka dibawa oleh Wrehatnala ke medan pertempuran. Hujan senjata. Langit gelap.

Wratsangka ciut nyalinya. Turun dari kereta dan melarikan diri. Tak lama. Wrehatnala menjambak rambutnya. Antara marah dan malu.  

Mungkin tak sopan. Wrehatnala mengajak bertukar peran. Wratsangka dipermalukan. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan.  

Ini hari terakhir. Pandawa harus berhati-hati. Tak terkecuali Wrehatnala. Untungnya, dia masih nampak sebagai seorang banci.

Tapi sungguh di luar dugaan Wratsangka. Wrehatnala, sendirian, memporakporandakan barisan Hastina. Kurawa dipaksa mundur.  

Wirata selamat lagi. Wratsangka lega, tapi masih bertanya-tanya. Bagaimana mungkin? Dan senjata-senjata itu, dia mengenalinya.  

Bukankah itu pusaka-pusaka Arjuna? Apakah Wrehatnala mencurinya? Banci itu menjawab, Arjuna menitipkan pusaka-pusakanya.

Jika benar begitu, jawablah. Apakah Arjuna cucuku masih hidup? | Masih. | Kau tahu di mana dia sekarang? | Tahu. | Katakan.  

Di Gunung Soca. | Soca itu mata... Di mana itu? | Di negeri Tunggalsiti | Itu artinya tanah yang sama. Jangan membuatku bingung.  

Dia ada di Kampung Sasumuban. | Itu berarti tak lama lagi. He Wrehatnala. Jangan memancing kemarahanku. Beritahukan segera.

Di tepi Sungai Konjem. Dia sedang bersimpuh di kakimu. | Ohh... Jagad... *hari sudah pagi... hukuman telah tunai. *salam

#untukPakYBS

Belilah sawah, 2 petak saja, orang lain yang kerja, tapi sampeyan yang beli benih dan pupuknya.

Tanam pohon Kepel di halaman, itu lho, yang buahnya nempel di pohon, seperti di Pagelaran Karaton Kasunanan Surakarta.  

Tiap hari luangkan waktu untuk menggambar peta Indonesia, sementara kurangi menyanyinya.  

Kalau nonton pertunjukan jangan banyak nanya.

Sempatkan menggunakan Bahasa Daerah, daerah mana saja.  

Baiklah. Saran selanjutnya, tunggu tiga bulan lagi. *salam

#777

Orang bertanya-tanya | apa benar dendamku | memang sebesar itu. | Pantang menggelung rambut | sebelum membasuhnya | membasahi helainya. #777

Mengeramasi dengan | darah Dursasana | yang menelanjangiku. | Bukankah itu kejam? | Benar tak berhatikah | Drupadi, aku ini? #777

Biarlah itu tetap | menjadi peristiwa | untuk dikenang-kenang. | Sudah jadi takdirku | merelakan sejarah | untuk masa yang baru. #777

Inilah tembang itu | nama Sekar Pancali. | Untuk diulang-ulang | dan dicatatdendangkan | meski aku berganti. *Pancali #777

#diary

Janur telah kering, bantalku masih basah. Liur Duryudana, dan luhku. -Banowati-

Aku membunuh Ekalaya, Anggraini istrinya bunuh diri, aku kalah. -Arjuna-  

Aku pun pernah muda, masih suka gula-gula, kurang asam garam. -Salya-  

Aku cuma payung. Cukup untuk hujan, tapi tidak untuk badai. -Madrim-

Ya, aku senang dipuji, tapi aku memilih orang-orang yang layak melakukannya. -Srikandi-  

*silent... Hmm... Absen dulu ya. -Gatotkaca-  

Ini purnama ke 73 aku ditawan Rahwana, oh... 74... 73... Rama, kau menghitung juga? -Sinta-

Kita kok gak keluar-keluar ya... -Panakawan- *pathetan

#konteks

Panakawan berlarian, berebut teduhan payung, sementara di istana, Abimanyu bahkan tak tahu di luar sedang hujan. Hampir badai.

Seorang prajurit, tanpa ditanya, bilang. Cuma mendung. Saat dia masuk, memang benar hujan belum turun. Padahal kini hampir banjir.  

Abimanyu keluar jika dan hanya jika terjadwal. Terlanjur begitu sebagai putra mahkota yang digadang-gadang. Dipaksa, lalu terbiasa.  

Istana megah itu tanpa jendela, cuma cerita dari mulut orang-orang yang dipercaya. Panakawan mulai harus berenang untuk sampai.

Menyelam karena seluruh negeri tenggelam. Kecuali istana. Kecuali Abimanyu yang dipaksa percaya, di luar tidak terjadi apa-apa.  

Sehabis hujan, tenang. Abimanyu masih di dalam. Yang dia tidak tahu, tenang ini adalah karena terlanjur habis-habisan.  

So, Mas Abimanyu, istana hujan nggak? *malam

#baru

Tahun yang pergi dan yang datang, aku menyambungnya dengan gerimis kecil. Kepyur-kepyur. -Sinta-

Aku baru berkemas, kau sudah terlalu lama menanti. Selang setahun yang kebetulan juga selang sehari. -Rama-  

Jangankan tahun, putaran windu yang berkali-kali pun tak apa. Asal ada cinta, kapanpun matiku adalah mati muda. -Rahwana-  

Mengabdi pada Rama setahun ini adalah keputusan yang benar. Tapi tetap saja aku merasa bersalah. -Wibisana-

Dunia memang penuh dengan tujuan, tapi waktu hanya melintas sekali, melintas begitu saja. -Laksmana-  

#takon

Masih soal Wisanggeni. Semalam kami ngobrol 'parikena' 'guyon maton' lagi. Bergelap-gelap untuk mencari terang.

Tanya: Apa yang istimewa dari naik? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali harapanmu cukup tinggi.  

Tanya: Apa yang istimewa dari turun? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali kita makin rendah hati.  

Tanya: Apa yang istimewa dari keringat? | Wisanggeni: Semuanya, kecuali jika keluar karena dipaksa.

Tanya: Apa yang istimewa dari air mata? | Wisanggeni: Kekuatannya. Makin jarang digunakan, makin istimewa.  

Tanya: Apa yang istimewa dari terompet tahun baru? | Wisanggeni: Perasaanmu. Berbagi atau mencari gembira... *break *pathetan  

#alamalaman

Gareng: Pak Dokter, saya makan nggak enak, tidur nggak nyenyak. Apa obatnya? | Petruk: Wah berat, udah miskin, nggak bahagia.

Bagong: Pak Dokter, saya miskin dan nggak bahagia. Apa obatnya? | Petruk: Wah, berat. Pasti makan gak enak tidur gak nyenyak.

Petruk: Baiklah, saya butuh waktu untuk menemukan obatnya. | Gareng + Bagong: Wah... Berat...

#takon

Lagi di Megamendung, mampir Megamalang ketemu Wisanggeni lagi begadang. Waktunya nanya-nanya. Yang mau nitip, silakan *pathetan

Tanya: dendam gak sama Durga?! | Wisanggeni: hehe... nadamu... kamu kali yang dendam...

Tanya: siapa lebih licik, Kresna atau Sengkuni? | Wisanggeni: Jadi mereka berdua licik?

Tanya: Sinta itu mencintai Rama atau Rahwana? | Wisanggeni: Salah nanya kamu, ke Pakde Anoman sana.  

Tanya: seperti apa Candradimuka itu? | Wisanggeni: Seperti rahim, ingat nggak?  

Tanya: Kenapa suka turun ke bumi, bukankah di kahyangan lebih enak? | Wisanggeni: untuk merasa kenyang, harus mau lapar dulu.

Tanya: Apa yang istimewa dari malam? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali kau menjaganya.  

Tanya: Apa yang istimewa dari pagi? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali yang terbit itu mataharimu.  

Tanya: Apa yang istimewa dari siang? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali kau berhenti sejenak.

Tanya: Apa yang istimewa dari senja? | Wisanggeni: Tidak ada, kecuali kau ingat 'rumah'.  

Tanya: Apa yang istimewa dari gaduh? | Wisanggeni: sepi setelahnya.  

Tanya: Lalu apa yang istimewa dari sepi? | Wisanggeni: Kerelaanmu untuk kadang-kadang ditinggalkan.

Tanya: Apa yang istimewa dari bintang? | Wisanggeni: Kalau belum bisa dengan tanganmu, selalukan dengan anganmu.  

Tanya: Kalau yang istimewa dari bulan? | Wisanggeni: Sudah menjadi biasa, kecuali masih kautabuh lesung saat gerhana.  

Tanya: Yang istimewa dari musikalisasi puisi? Puisinya kan? | Wisanggeni: Ya, dan suara Mbakyuku.

Tanya: Yang istimewa dari gitar? | Wisanggeni: Usai dipetik kembali jadi perempuan.  

Tanya: Apa yang istimewa dari pertanyaanku? | Wisanggeni: Pertanyaan? Kau cuma ingin menyamakan jawaban. Hehe. *sampun nggih