Friday, December 26, 2008

MEREBUT AMARTA

“Merebut Amarta, itu masalah sepele ngger.”

“Jangan asal bicara, paman.”

“Lho, ini bukan asal bicara tapi bicara dengan asal mula. Maksud saya, ada alasannya.”

“Katakan.”

“Pertama, kita mesti tahu, Puntadewa itu sesungguhnya sangat lemah. Meski banyak orang bersimpuh padanya, segala kelebihan yang dimilikinya justru membuat dirinya ringkih, rapuh. Dengan kernyit dahi tak seberapa, sedikit utak-atik, kita mampu membuatnya tersingkir. Sama sekali tidak susah, segalanya telah matang dalam benak saya, komplit.”

“Jangan muter-muter seperti dadu, bingung aku.”

“Nah, puji Tuhanku, itulah maksud saya. Kita kalahkan Puntadewa dengan dadu, persis seperti yang angger sabdakan, hehehe…”

“Tidak mungkin. Dia kan orang baik-baik.”

“Justru itu, saking baiknya dia tidak akan tega menolak permintaan kita. Dan yang penting adalah caranya ngger.”

“Kalau kalah?”

“Tidak akan pernah. Duryudana kalah dadu? Melawan Puntadewa? Hihi, lucu sekali. Itu tidak akan terjadi. Tapi ya itu, syaratnya satu, bandarnya harus Sengkuni, abdimu yang setia ini.”

Dan tawa dua orang itu segera bergema ke seluruh penjuru kota Hastina. Seekor kucing mengawasi sambil menikmati makan malam istimewanya, tulang kijang sisa santapan Banowati, permaisuri yang kulitnya seperti pualam, yang matanya bening kristal, yang tubuhnya semampai seperti rebab gading, yang burung-burung pernah berkata bahwa ia sering menyempatkan diri dolan ke Sendang Tirta Rasa di pinggiran Hastina untuk bermain dakon dengan Arjuna.

“Oh ya, di mana permata hati selimut tidurku, apakah dia perlu diberitahu?”

“Jangan ngger, ini urusan laki-laki. Dadu ngger, bukan bumbu.”

“Bagiku Banowati bukan bumbu paman, kau seperti tidak pernah punya istri.”

“Ya jangan lalu diartikan begitu, seperti tidak pernah belajar bahasa saja. Ini masalah prioritas ngger. Ada kalanya kita harus menahan diri untuk hal penting demi hal penting yang lain. Istri angger itu surga malam hari. Nah, yang ini surga siang hari. Paham? Setuju?! Lha iya, memang. Sudahlah, percayakan semua kepadaku.”

Malam itu Duryudana mimpi indah. Banowati yang beberapa kali menyentuh pundaknya tak dihiraukan lagi. Segeralah pagi dan pagi lagi hingga waktunya tiba. Sebentar lagi Amarta dalam genggaman, dunia akan berteduh di telapak tangannya. Semua akan takjub dan menyebutnya dengan sebutan Prabu Duryudana Yang Agung Sekali. Dia terlampau banyak minum.

“Benar, ini tenyata masalah prioritas paman. Masih banyak waktu untuk sekedar menghangatkan malam, lagipula ini kulakukan demi dia juga. Agar taman tempat ia bermain menjadi lebih indah, air mandinya semakin jernih, abdi-abdinya lebih penurut, pepohonan lebih rindang, bunga-bunga lebih wangi, dan mata uang yang beredar lebih bernilai. Betul kan? Tapi ngomong-omong, alatnya sudah siap?”

“Ih, ngomong apa sih? Melek juga nggak. Pengertian sedikit dong sama istri, jam segini malah ngigau nggak karuan. Dasar egois,” Banowati menggerutu seraya balik arah.

Tiba-tiba senyum Arjuna simpul di bantalnya. Jadilah sepanjang malam Banowati didera rindu. Sepupu ipar yang satu itu memang luar biasa. Ia adalah perangai lembut yang berubah perkasa ketika harus melindungi wanita. Seakan mencicipi separuh surga, demikian Banowati mengungkapkan betapa indahnya saat berduaan dengan Arjuna. Mengingat itu semua, ia tak habis pikir mengapa kini harus bersanding dengan neraka yang mendengkur di sampingnya. Sial. Rencana apalagi yang dipikirkan suaminya sampai-sampai terbawa dalam tidurnya yang begitu gaduh. Banowati memang tidak tahu, tetapi tentu saja bukan karena ia hanya sekedar bumbu.

Dan tibalah harinya. Semua berkumpul di balairung untuk menghadiri undangan pertemuan. Banowati seperti bisa menduga yang terjadi selanjutnya sehingga memilih mengurung diri dalam kamar. Balairung mulai semarak. Destarastra, ayah Kurawa duduk tenang bertopang tongkat berlapis emas dengan kepala berlian sekepal berkilauan jernih sekali. Telinganya menangkap gelak dan basa-basi yang hadir. Resi Bisma duduk di kursinya sambil mengunyah sirih. Ketampanan dan kegagahannya bahkan tak berkurang sedikit pun. Orang-orang yang memujanya mengatakan bahwa setelah sepenuhnya rela mengorbankan kesenangan demi damai dunia, tak seorang pun boleh heran pada teduhnya sosok wibawa itu. Itu memang sesuatu yang pantas.

Durna sibuk mengelus-elus jenggotnya yang kian memutih sambil sesekali melirik kiri-kanan, tersenyum pada semua yang hadir. Ia seorang mahaguru, maka semua tindak-tanduknya harus bisa menjadi contoh. Paling tidak ia berharap Aswatama putra tunggalnya bisa menggantikan kedudukannya kelak. Demi hal itu pula ia sering mencuri waktu di sela-sela kesibukannya mengajar Pandawa dan Kurawa. Ia ajarkan sedikit lebih pada Aswatama sebelum muridnya yang lain. Kepandaian Aswatama setara dengan Sadewa, kesaktiannya hampir sebanding dengan Arjuna. Sebagai ayah, kebanggaan pelan-pelan menyusup dalam hatinya.

“Kanda Durna, silakan,” Sengkuni beramah-tamah.

“Oh iya iya,” Durna tergagap. “Sudah mau dimulai ya?”

“Sebentar lagi. Saya akan membuka dengan sedikit pengantar.”

Dengan langkah teratur, Sengkuni menuju ke tengah dan mulai angkat bicara.

“Selamat siang saudara-saudara sekalian. Tadi ada yang bertanya di belakang sana, untuk apa kita mengadakan pertemuan ini. Lebih baik bekerja daripada kebanyakan diskusi. Jelas dia bodoh sekali sampai tidak tahu bahwa ini adalah cara tepat untuk memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Sebagaimana kita setujui, tujuan kita sama, membuat rakyat sejahtera. Untuk itulah pertemuan ini diadakan. Akan kita bicarakan sebuah bentuk kerjasama untuk mengelola Hastina dan Amarta. Prinsipnya adalah pembagian tugas agar masing-masing mendapatkan tugas sesuai dengan kemampuannya.”

“Langsung saja. Jangan bertele-tele,” Bima mulai tidak sabar.

“Sebentar Nak Bima, saya berhati-hati agar tak salah bicara.”

“Betul, memotong pembicaraan dalam pertemuan itu tidak sopan. Bersabarlah sedikit,” Puntadewa menenangkan adiknya.

“Baik, saya lanjutkan. Masalah penting yang harus segera kita selesaikan adalah masalah pemerataan pembangunan. Saya mendengar kabar bahwa desa-desa di Amarta kini kosong karena hampir semua penduduk lari ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Sebagian bahkan lari menerobos perbatasan Hastina. Ini sangat memprihatinkan. Kebijakan Nakmas Puntadewa tentang konsep pembangunan, maaf, harus ditinjau ulang. Bukankah aneh negara sebesar Amarta, yang bahkan pendapatan rata-rata penduduknya lebih besar daripada Hastina, ternyata tidak mampu menyalurkan penghasilannya secara merata. Di manakah letak kesalahannya? Kemarin saya sudah bicara dengan Nanda Duryudana. Beliau sanggup mengirimkan tim handal untuk membantu pemerintah Amarta.”

Bisma tiba-tiba berdiri. Semua menunduk hormat tak terkecuali Sengkuni yang wajahnya mendadak sedikit pucat.

“Peduli adalah hal yang baik. Tetapi tatakrama menyebutkan bahwa kadang-kadang untuk menolong kita harus menunggu diminta. Jangan sampai karena terlalu peduli justru dituduh mencampuri rumah tangga orang lain. Tolong itu dipikirkan sebelum bertindak.”

“Tidak apa-apa Eyang, saya bisa mengerti karena memang begitulah keadaannya,” suara halus Puntadewa terdengar merdu.

“Saya setuju dengan apa yang telah diusulkan paman Sengkuni. Akan saya kirim orang-orang terbaik untuk membantu Pandawa. Kalau perlu tidak usah dibayar dengan uang, cukup dengan rempah-rempah dan palawija. Kalau perlu gratis, cukup dengan penyesuaian kebijakan untuk barang-barang dari Hastina yang masuk ke Amarta, tolong pajaknya jangan terlalu tinggi. Tidak usah kuatir, Hastina tidak akan kekurangan orang pandai hanya karena sebagian ahlinya dikirim untuk membantu Amarta, hahaha…”

“Betul… ya betul.. setuju…”

“Setuju sesetuju-tujunya, hahaha…” Durmagati menyahut sekali kemudian melanjutkan tidurnya. Ia memang salah satu dari sebagian besar Kurawa yang kurang suka dengan diskusi semacam itu.

“Nah, pembicaraan kita sudah semakin terarah. Nakmas Puntadewa silakan menyampaikan sepatah dua patah kata untuk lebih mempertegas.”

“Terima kasih paman. Pada dasarnya saya menyambut baik uluran tangan Kanda Duryudana. Bagaimana tata caranya, saya ikut saja. Tentang pengiriman tenaga ahli, kami memang membutuhkan untuk membangun daerah-daerah pelosok dan pesisir. Saya juga heran, sampai sekarang tidak tahu di mana letak kesalahannya.”

“Nanti dulu. Semua harus jelas, jangan asal terima saja. Masalah ini bisa-bisa berbuntut panjang.”

“Jangan lalu berprasangka begitu Nakmas Bima. Kita ini kan keluarga. Semua masalah bisa kita bicarakan baik-baik. Bukan begitu Nakmas Puntadewa?”

Pandawa tertua itu hanya mengangguk lemah.

“Hehehe… nah saya kira cukup untuk sekedar pembuka. Sudah ada isyarat dari belakang, masakan telah siap. Lebih baik kita makan dulu, ngobrol-ngobrol ringan sambil melihat-lihat pameran lukisan hasil karya para Kurawa. Mari ngger, Nakmas Punta, Nakmas Bima, jangan malu-malu, anggap saja rumah sendiri.”

Kini ruangan itu bagai sebuah warung baru. Meja dan kursi disingkirkan diganti dengan permadani dan tikar pandan. Ikan bakar dan lalapan segar dihidangkan. Bima yang memang belum makan sejak berangkat dari Amarta menempati tikar khusus. Tak ada yang mau menemaninya karena tahu sudah pasti akan kalah bersaing. Pandawa satu ini memang suka makan kelewat banyak. Itu pula yang menyebabkan tenaganya berlebih sehingga pada saat tidak mendapatkan penyaluran, amarahnya mudah memuncak. Untungnya ia seorang yang teramat jujur sehingga kelebihan yang dimilikinya seringkali bermanfaat bagi orang banyak. Amarahnya hanya tertuju pada orang-orang yang dianggapnya bersalah atau keras kepala. Itu yang Sengkuni sungguh tak suka.

Tak berapa lama, hidangan telah tandas. Semua kembali ke masalah dengan harapan bisa berpikir lebih jernih, tidak terganggu lilitan dan keroncong di perut masing-masing. Bima mulai diserang kantuk. Sengkuni memperhatikannya sambil tersenyum pada Duryudana. Tikar khusus Bima adalah ide Sengkuni. Duryudana tahu, ramuan kangkung dan rempah telah mempengaruhi Bima. Duduknya tak lagi tegak dan memilih tempat di sudut supaya bisa bersandar.

“Bima, kau sakit?” Puntadewa nampak was-was. Sengkuni segera beraksi.

“Sudahlah, Nakmas Bima begitu menikmati jamuan ini. Nampaknya kekenyangan, biar istirahat dulu.”

Sengkuni mendekat dan berbisik pada Duryudana.

“Sejauh ini mulus, tapi kita harus bersabar. Mereka terkenal mempunyai kewaspadaan lebih. Hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan yang membuat mereka curiga.”

“Ya, aku tahu,” sahut Duryudana agak ketus. Ia merasa dianggap bodoh.

“Eit, jangan keras-keras,” Sengkuni panik.

“Apakah masih ada yang akan dibicarakan lagi setelah ini? Aku merasa bahwa ini pembicaraan kalian para muda. Ijinkan aku pulang dulu.”

“Maaf, kita belum selesai. Kami memohon Sang Begawan berkenan untuk tetap tinggal. Setelah perut kita terisi, sekarang waktunya beramah-tamah, bersantai, dan bermain-main. Nakmas Puntadewa jangan terlalu tegang, kesini dan bermain bersama kami.”

“Apa paman?”

“Lihatlah yang paman pegang ini.”

“Wah, bukankah itu dadu paman?”

“Tepat sekali. Pamanmu yang tua ini tidak akan pernah lupa bahwa nakmas sangat menyukai permainan ini. Bahkan di kantong yang nakmas bawa itu, ada sebuah dadu juga. Benar bukan?”

Puntadewa segera teringat masa lalunya yang pahit. Setelah ayahnya mati, hanya Kunti seorang diri yang mengasuh Pandawa. Begitu banyak peristiwa yang meski pada akhirnya membuat dirinya semakin dewasa, tetapi juga menyebabkan ia tak lagi mudah percaya pada orang lain. Sejak peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Pandawa di Pura Waranawata, Puntadewa selalu berusaha untuk berhubungan langsung dengan Gusti yang menciptakannya. Gusti yang diyakininya selalu dekat, mengelilinginya di setiap penjuru. Betapa meski ia teramat hormat pada Destarastra ayah Kurawa, tetapi lambat laun kepercayaan itu memudar dan yang tinggal hanyalah bakti pada orang tua, tak lebih. Ia yakin bahwa sesungguhnya Destarastra tahu rencana Sengkuni menjebak Pandawa dalam kobaran api. Selanjutnya hari-hari Puntadewa akrab dengan dadu yang selalu dibawanya. Tiap kali ia dihadapkan pada pilihan, hatinya jernih mendekat pada Yang Esa, kemudian tangannya akan bergerak melempar dadu. Kepasrahan yang utuh menghadirkan isyarat yang dapat dipercaya. Demikianlah Puntadewa, pemuda dadu. Telapak tangan lembut yang halus dan bersih itu mengepal dan mata memejam. Jemari rapat menggenggam dadu dengan telapak tangan mungil yang sering berkeringat saat pikirannya mulai memusat. Sama berkeringatnya dengan Drupadi yang tengah cemas menerka kelanjutan…

“Akulah nasib yang bergulir di sisi dadu suamiku. Akulah bunga bernyawa seharga hidup lima bersaudara putra Kunti yang mahsyur. Ketika sorak sorai kemenangan berbaur dengan terbunuhnya rasa hormatku pada kerabat-kerabat terkutuk itu, aku hanya berharap padamu bumi. Kau tidak pernah mau berhutang dan selalu membayar dengan harga pantas sepadan. Melangkahlah waktu dengan segera, turunkan aku di tegal ilalang kaki bukit. Rumput akan menjelma pedang. Biarkan untuk kali itu, dadu terlempar sendiri.”


Kamar 3, September 2005