Monday, September 30, 2019

Duryudana

Maaf. Ini tidak sering terjadi. Justru karena aku percaya padamu maka pagi ini kuputuskan untuk mengaku.

Aku merasa tersanjung, menjadi yang tertua di antara seratus bersaudara. Jumlah itu kadang adalah jumlah isi kepala yang berbeda.

Soal permusuhan dengan Pandawa itu, kurasa kau ikut membesar-besarkannya. Permusuhan masa kanak yang berlanjut sampai kini.

Jangan salahkan Sengkuni yang mengatur permainan dadu. Memang begitulah permainan kami para penguasa. Pandawa juga tahu soal itu.

Kami dan kurasa kau juga tahu, tidak aneh bila orang kalah selalu banyak bertanya, orang lapar gampang tersulut amarahnya.

Asal tahu, waktu permainan dadu, Puntadewa selalu memilih angka lebih dulu. Bukan itu saja, dia juga boleh bertukar angka.

Ya. Kami menang. Dursasana adikku mungkin keterlaluan saat berusaha menelanjangi Drupadi di arena permainan. Judi memang kejam.

Hukuman itu sudah menjadi kesepakatan, tapi tiba-tiba seperti sebuah kekejaman oleh kami yang menang ini. Keadilan macam apa?

Soal kenapa kami bersikukuh atas negeri yang kami menangkan, itu juga hal biasa. Mana ada kekuasaan diserahkan tanpa syarat?

Jangan menghina. Orang serakah hanya berani beradu punggung. Kami dari jenis berani mati. Hati-hati dengan penilaianmu.

Atau kita memang berseberangan? Jika begitu, bergabung saja dengan Pandawa. Pilih senjatamu, lalu kita buktikan.

Bukankah begitu, Paman?

17051119

Sunday, September 29, 2019

Waktu adalah Sumbu

Arjuna mati! Arjuna mati! Adipati Karna telah membunuhnya. Oh ya? Siapa dalangnya, berani-beraninya mengubah cerita. Ngawur.

***
Hidup makin ditata, orang terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, lalu tanpa sadar jadi acap tergesa demi jadwal berikutnya. Siapa bilang Arjuna mati, itu hanya kelebat pikiran Kunti, ketakutan seorang ibu soal perang besar yang akan terjadi. Baratayuda. Tentu dia boleh berpikir begitu. Baik Karna maupun Arjuna adalah anaknya. Mana ada ibu yang suka melihat anak-anaknya saling berhadapan, saling mengancam, saling bunuh demi kebenaran yang masing-masing digenggam. Tidak ada, Ibu manapun, juga Ibu Pertiwi.

Tergesa bisa berkait sangkut dengan hal apa saja. Tergesa menelan tanpa mengunyah, tergesa percaya tanpa menimbang, tergesa memutuskan tanpa merenungkan. Apa lagi? Oh iya, tergesa matang tanpa diperam -apalagi matang pohon, sudah tidak sempat-, tergesa pintar tanpa belajar, kaya tanpa usaha, ngetop tanpa berkarya. Semua itu menghemat waktu. Lalu sisa waktunya buat apa?

Arjuna tidak mati! Belum!

Nah. Niatnya hemat waktu, tapi malahan buang waktu gara-gara tergesa menilai dalang yang belum rampung bercerita. Berapa banyak permusuhan akibat ketergesaan. Kabar yang belum jelas benar sudah dicarikan lawan tandingnya. Berapa banyak perpecahan karena kemarahan yang tidak diperam, marah-marah yang mentah, yang mencari pelampiasan secepat-cepatnya.

Arjuna tidak mati! Karna yang mati! Kepalanya terpenggal panah, menggelinding di tanah. Pandawa menang! Pandawa menang!

Kebenaran itu bercampur sudah dengan kengerian. Dan kita tidak masalah. Sudah biasa bahwa kemenangan juga sebaiknya didapat secepatnya, demi tidak habis waktu untuk kemenangan-kemenangan berikutnya.

Awalnya, waktu adalah kesempatan, lalu jadi kesempitan, kesempatan yang sempit, semacam sumbu. Bila kita lalu ikut terbakar oleh ledakannya, barangkali hati kita memang kering adanya.

120115-nananghape