Friday, January 6, 2012

#wrehatnala

Urwasi mengutuk Arjuna menjadi banci di tahun ke-12 masa hukuman Pandawa seusai permainan dadu yang kotor. Masih setahun lagi.

Setahun itu adalah masa yang sulit. Pandawa harus menyamar, bersembunyi di keramaian. Jika ketahuan, harus mengulang hukuman.  

Maka penyamaran itu pun dimulai. Puntadewa menjadi lurah pasar bernama Kangka, Bima menjadi tukang jagal bernama Bilawa.  

Arjuna menjadi guru tari bernama Wrehatnala. Nakula jadi tukang kuda nama Damagranti, Sadewa jadi Tantripala penggembala sapi.

Wirata, kerajaan besar yang diam-diam menjadi incaran Duryudana. Di sanalah Pandawa bersembunyi dari kejaran Kurawa.  

Oh. Lalu di mana Drupadi? Di Wirata juga, menjadi pelayan Dewi Utari. Ia berganti nama menjadi Salindri. Masih tetap cantik.  

Hari demi hari, aman-aman saja. Tinggal tiga hari lagi masa hukuman itu pun usai. Wirata kisruh, Kencaka dan Rupakenca hianat.

Mereka menantang Matswapati untuk mengadu jago. Jago tanpa taji. Adu manusia. Rajamala di pihak Kencaka. Wirata belum siap.  

Matswapati menyuruh Seta mencari tandingan. Ia menemukan Bilawa di Pejagalan, yang kemudian dikenalkan sebagai anak Warakas.  

Pertarungan seru. Taruhan yang seru. 'Bur Manuk'... Yang kalah harus pergi meninggalkan semuanya, yang menang berkuasa.

Bilawa menang. Rajamala mati. Kencaka menceburkan mayatnya ke Sendang Watari. Rajamala hidup lagi. Perang, mati, hidup lagi.  

Atas nasihat Semar, Wrehatnala membakar sendang itu dengan panah Bramastra. Di kematian berikutnya, Rajamala gagal hidup lagi.  

Jago mati, Si Tuan hilang kendali. Kencaka mengamuk, memburu Bilawa. Ia terhenti oleh kecantikan Salindri. Terhenti. Lupa diri.

Semula memburu Bilawa, kini Salindri. Salindri mengelak, mengaku telah bersuamikan jin penunggu pojok benteng Wirata.  

Jin itu, tak lain adalah Bilawa yang kemudian membunuh tak hanya Kencaka tapi juga Rupakenca. Salindri yang jadi terdakwa.  

Matswapati mengusirnya, Salindri meminta keringanan tiga hari. Permintaan itu dikabulkan. Selamatlah Pandawa. Hampir saja.

Selesai? Belum. Baru akan seru. Tapi tunggu dulu. Waktunya secangkir kopi. Sementara, mari nikmati barang se'gendhing'.  

Oke lanjut. Hehe. Wirata baru saja lolos dari bahaya. Tapi masih ada yang mengancam. Duryudana dan Susarma siap menyerang.  

Duryudana merasa perlu untuk menaklukkan Wirata, menegaskan kebesarannya sebagai Raja Hastina. Susarma punya alasan sendiri.

Sejak lama ia menaruh hati pada Dewi Utari. Ya. Tentu saja tak berbalas. Mereka bersiap. Susarma menyerang lebih dulu.  

Wirata tidak siap, terdesak hebat. Matswapati tertawan. Wirata di ujung tanduk. Kangka tanggap dan menyuruh Bilawa bertindak.  

Singkat cerita, Susarma mati. Kejadiannya terlalu cepat, Matswapati tak sempat menyadari yang terjadi. Ia pingsan beberapa lama.

Aman? Belum, karena Kurawa menyusul menyerang. Kali ini Wirata benar-benar kewalahan. Matswapati menyuruh anak-anaknya lari.  

Ke mana Wrehatnala? Dia hanya guru tari, siapa yang akan percaya padanya untuk peperangan sehebat ini. Tidak juga Wratsangka.  

Anak Matswapati yang lain itu telah bersiap, mengajak Utari untuk berkemas dan segera melarikan diri. Utari menolak pergi.

Wrehatnala, dituntun oleh sifat dasarnya, mempertanyakan keputusan Wratsangka. Ksatria, mestinya tidak seperti itu. Memalukan.  

Wratsangka murka. Tahu apa banci penari ini soal perang. Tangannya terlalu gemulai, bahkan untuk sekedar mengangkat busur.  

Kalau pun benar begitu, kenyataannya Wrehatnala bersedia, berani untuk maju. Bagaimana dengan Wratsangka? Bukti lebih penting.

Dipermalukan seperti itu, keberanian Wratsangka terbangkit. Ia masih berkilah, tak ada kusir yang akan membawanya ke medan.  

Wrehatnala menyediakan diri. Ia mengaku pernah menjadi kusir Arjuna. Lebih dari cukup untuk sekedar mengusiri kereta Wirata.  

Setengah ragu-ragu tapi terlanjur malu, Wratsangka dibawa oleh Wrehatnala ke medan pertempuran. Hujan senjata. Langit gelap.

Wratsangka ciut nyalinya. Turun dari kereta dan melarikan diri. Tak lama. Wrehatnala menjambak rambutnya. Antara marah dan malu.  

Mungkin tak sopan. Wrehatnala mengajak bertukar peran. Wratsangka dipermalukan. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan.  

Ini hari terakhir. Pandawa harus berhati-hati. Tak terkecuali Wrehatnala. Untungnya, dia masih nampak sebagai seorang banci.

Tapi sungguh di luar dugaan Wratsangka. Wrehatnala, sendirian, memporakporandakan barisan Hastina. Kurawa dipaksa mundur.  

Wirata selamat lagi. Wratsangka lega, tapi masih bertanya-tanya. Bagaimana mungkin? Dan senjata-senjata itu, dia mengenalinya.  

Bukankah itu pusaka-pusaka Arjuna? Apakah Wrehatnala mencurinya? Banci itu menjawab, Arjuna menitipkan pusaka-pusakanya.

Jika benar begitu, jawablah. Apakah Arjuna cucuku masih hidup? | Masih. | Kau tahu di mana dia sekarang? | Tahu. | Katakan.  

Di Gunung Soca. | Soca itu mata... Di mana itu? | Di negeri Tunggalsiti | Itu artinya tanah yang sama. Jangan membuatku bingung.  

Dia ada di Kampung Sasumuban. | Itu berarti tak lama lagi. He Wrehatnala. Jangan memancing kemarahanku. Beritahukan segera.

Di tepi Sungai Konjem. Dia sedang bersimpuh di kakimu. | Ohh... Jagad... *hari sudah pagi... hukuman telah tunai. *salam

No comments: