Tuesday, November 29, 2011

#hati

Hati-hati. Hatiku... Hihihi... punya kutub. -Sarpakenaka-

Dulu warnanya merah. Sekarang Putih. Suci gitu lho... -Sarpakenaka-  

Hati seperti apa yang kauharapkan dari seorang Yaksi, raksasa betina. -Sarpakenaka-  

Hati Yaksi itu kebal, maka tak cukup satu ksatria untuk melukainya. Percaya? Hihi... -Sarpakenaka-

Ayolah. Bukan hati yang kaucari. Kau sudah punya satu, yang kaurasa sempurna. Ih... kok aku ngomong gitu ya. -Sarpakenaka-  

Sebentar lagi aku mekar. Lalu pudar? No. Yaksi adalah bunga gunung. Aku Edelweis. Hihi... Hitam. Beracun. -Sarpakenaka-  

Tapi buat kamu semua, racun adalah perlu. Agar hatimu ada gunanya. Ya nggak sih? -Sarpakenaka-

#sanditama

Tersesat di rimba keramaian, kau tidak akan bisa keluar, kecuali telah membuatnya jadi sunyi. -Bisma-

Tersesat di rimba kesunyian, kau tidak akan merasa, sampai tiba saatnya ingin berbagi. -Bisma-  

Tersesat di tanah lapang kelegaan, kau menandainya, lalu beranjak, atau berhenti sama sekali. -Bisma-  

Tersesat, mengambang di ibukota samudera, sedalam mata terpejam adalah kenangan, sejauh pandangan adalah harapan. -Bisma-

Tidak percaya orang itu boleh, kita juga kadang-kadang berdusta. -Puntadewa-  

Percaya ke orang, artinya kau mempercayai keyakinanmu akan dia. Jadi, masih tidak percaya diri? -Wisanggeni-  

Jangan percaya. Aku cuma bajingan yang semoga berhati. Tak lebih. -Narasoma-

Aku melajang karena tidak dipercaya oleh Sinta. Tapi selebihnya adalah karena Rama percaya. -Laksmana-  

Dipercaya itu berat, tidak dipercaya juga berat. Yang ringan dijinjing. -Parasu-  

Kepercayaanmu padaku itu, meniru, menjadi saksi, mengalami, atau karena belum tertipu? -Kresna-

Orang percaya tak kurang alasan, orang tak percaya tak kurang sangkaan. -Durna-  

#suran

Sebaru-barunya ya persis selama yang lama. -Parasu-

Jadi apakah tiap malam istimewa? Tentu ada yang kita rusak, dengan atau tanpa sengaja. -Narasoma-  

Pertapaan yang kupamerkan, yang sepi pengunjung. Aku gagal, terpeleset di ujung tangga. -Wisrawa-  

Bukan soal sepanjang malam tadi, tapi seperti apa pagi kini. -Kresna-

Mengais di jejak tapak guru, yang berdebu tajam, lembab dan penuh gangguan. -Arjuna-  

Tidak ada yang berubah. Di matamu, aku tetaplah pongah yang sama. -Duryudana-  

#sanditama

Biasanya kami lelah oleh perang, kali ini oleh pesta. -Puntadewa-

Tak ada masalah dengan kekalahan, kami sudah terbiasa. -Cakil-  

Kami kalah, tapi memenangkan sumpah. Kalian belum menang. -Duryudana-  

Menang bukan cuma soal perang tapi juga sehabis kalah. -Kresna-

Thursday, November 24, 2011

#panakanca

Hari ini Petruk murung. Entah kenapa dia merasa tidak lucu lagi. Ngedrop parah. Gareng yang seserius itu saja masih lebih lucu.

Apalagi dibanding Bagong yang remnya blong, tanpa beban. Petruk merasa kalah, telak, lantak. Padahal kosaleluconnya lebih banyak.  

Petruk mencoba melucu di depan cermin, tapi malah muntah. Ia menangis, meraung sejadi-jadinya. Merasa gagal, surut, punah.  

Gareng dan Bagong yang bergegas menghampiri. Petruk malu, kalap berteriak, tapi kedua saudaranya justru terpingkal-pingkal.

Petruk agak terhibur. Sedikit. Ternyata tangisan itu bisa lucu juga. Bagaimana kalau gurauan? Candaan? Umpatan? Makian?  

Petruk mulai mencoba-coba. Semuanya. Semaunya. Makin lama makin banyak yang tertawa. Tapi kali ini, Gareng dan Bagong terdiam.  

Kini Petruk merasa pantas untuk melucu lagi. Tapi Gareng dan Bagong sudah pergi. Petruk panik. Menangis lagi. Meraung lagi.

Tidak ada tawa. Tinggal tangis. Oh, bukan juga. Itu gerimis. *lampu padam

Tuesday, November 22, 2011

#diary

Di Argakelasa, puncak ketujuh Saptaharga, dingin menusuk, menguliti kesombonganku. -Arjuna-

Kabut bisa menyesatkan, tapi sekaligus melindungimu dari bidikan. -Arjuna-  

Turun gunung bukan soal mendapat apa, tapi jernih tidaknya liur hasratmu. -Jaladara-  

Kenapa gunung berapi lebih dingin, karena angin menujumu. Demikianlah kalau kau sedang marah, ada yang kedinginan. -Parasu-

Embun gunung atau pun embun pantai, bisa jadi dari laut yang sama. -Abyasa-  

Di bawah, kau tenggelam dalam gaduh. Di puncak, kau mengambang, hatimu yang riuh. -Narayana-

#wilis

Masih Wilis yang sama. Kuinjak lagi lumpurnya. Dingin yang membatu, tapi harapan masih menderu. Masih seru.

Selamat Pagi air mengalir, tumbuhan hijau, juga pahatan hujan di batu-batu. Di bawah mulai hangat, di atas mulai berkabut.  

Bukan soal batu ingin kubagi, tapi mereka yang terpendam. Waktu kuhirup aroma pinus, ada remah masa silam yang menyusup. Menyapa.  

Perawan lembah yang ditulis-tulis, dikarang-karang, dibunga-bungai itu, mulai menua. Jalanan masih licin, tanah merah setia pekat.

Mata air yang tetap bening, seperti keringatmu. Hijau memang tak serimbun dulu, aku berbaik sangka, kau sedang membuka diri.  

Maka akan kutunggu cerita tentang 'kemben kawung' yang kaupakai, juga tatanan rambut yang selalu berubah itu. Putri, Dewi, Nini.  

Aku bayi kau muda, aku bocah kau muda. Ya, aku beranjak... dan kau tetap muda. Masih jalan yang dulu. Wilis, Pulung, Tambakbuntu.

Pesan lamamu. Menuju timur tinggi. Menutup pintu, semburat warnamu, hijau membiru. *sungkem

#mayang

Entah apakah ini berlaku juga untuk lainnya, pertama-tama, dalang masuk ke wayang itu dengan cara berpura-pura. Pura-pura menjadi.

Selanjutnya dia merasa nyaman dan mulai menampilkan diri, mengusahakan rupa dirinya mewarnai wayang-wayang itu. Kadang terlalu.  

Lalu mawas, malu pada betapa habis-habisannya ia minta diakui. Ia mulai menghilang di balik wayang. Wayang dijadikan, menjadikannya.  

Berikutnya, ia akan bermain di ruang-ruang itu, tapi sudah dengan kesadaran, sehingga kalau pun jalannya licin, ada pegangan.

Bermain untuk bersenang-senang, menyenangkan orang, tidak untuk memaksakan pandangan. Mengajak, bukan karena merasa berhak.  

Entah apa ini berlaku untuk hal lain. Karena bermain ada aturan, bersenang-senang pun ada takaran. Dalang cuma meniru alam. *pagi  

Tuesday, November 15, 2011

#ajisaka

Hei kamu. Ya kamu. Halah, malah nengak-nengok. Ya kamu itu. Ok... namamu Ajisaka. Tolong naskahnya dipahami ya. bukan dihapalkan.

Kita mulai ya. Ajisaka... Aji itu nilai, bisa juga ajaran. Saka itu tiang, pilar. Pilar tahu kan? Tiang tiang... cagak Den, cagak.  

Nah, kamu berasal dari Kerajaan Majati. Ma itu Ibu, Jati itu Yang Sesungguhnya. Sejati... tahu kan? Ibu Sejati, Indung Agung.  

Ok. Lanjut ya. Nanti ceritanya, kamu akan pergi dari kerajaan. Oh iya, kamu punya dua abdi setia, namanya Dora dan Sembada. Apa?

Bukan Dora yang suka 'berhasil' 'berhasil' itu. Ini Dora yang artinya bohong, durhaka. Yang satu namanya Sembada, artinya jujur.  

Kamu punya pusaka, sorry, aku lupa nama pusakanya. Pokoknya pusaka ampuh. Nah, pusakamu itu kamu tinggal, nggak kamu bawa.

Si Sembada kamu suruh menjaga pusaka itu di Majati, sedangkan Dora kamu ajak jalan. Ha? Jalan-jalan? Jalan-jalan dengkulmu. Serius!  

Kamu sudah tahu mau kemana? ke Medang Kamulan. Medang, dari Ma Da Hyang, artinya Ibu yang Agung. Kita anggap saja, Ibu Kota.

Wah. Bukan Jakarta. Kamu itu memang abai sejarah. Ya kalau tepatnya di mana, saya juga nggak tahu, tapi kan ada rujukan setidaknya.  

Ada yang menyebutnya dengan nama Kalingga, cikal bakal Mataram Kuno. Nah, Mataram Kuno kan di sekitar Merapi. Jogja? Ya mungkin.  

Lanjut ya. Sebelum kamu berangkat, kamu berpesan pada Si Sembada. Siapapun kecuali kamu tidak boleh mengambil pusaka itu.  

Ya ampun. Suaranya bagaimana, ya jangan tanya aku. Itu Ajisaka di dalam dirimu itu tolong dibangunkan. Susah ya anak sekarang.

Kalian, kamu dan Dora berangkat. Kenapa Dora yang diajak? Nah. Pertanyaan bagus. Gitu dong. Iya... iya iya iya... kenapa Dora ya?  

Itu kita bicarakan nanti ya. Sekarang ceritanya dulu. Kamu dan Dora menyeberangi lautan, menuju Medang Kamulan. Naik daun.

Tolong jangan kebanyakan nanya dulu. Saya juga bingung kenapa naik daun. Tapi ya sudah, sementara kita terima dulu seperti itu.  

Di Medang Kamulan, kamu di sambut dengan onar yang menyeramkan. Rajanya bernama Dewata Cengkar, dia suka makan daging manusia.

Oh iya ya. Naik Daun kan artinya mulai ngetop ya. Apakah ada hubungannya? Hush! Fokus fokus. Sampai mana tadi? Oh, Dewata Cengkar.  

Dewata itu kira artinya Cahaya Gerak Hidup, Cengkar itu artinya Tandus, Gersang. Menurut dongeng, Dewata Cengkar bukan asli Medang.

Dia dari tanah gersang. Mungkin dari padang pasir atau semacamnya, menyerang lalu menguasai Medang. Medang Kamulan itu Jawa. Haduh.  

Tadi kan sudah. Tolong jangan disambi ngemil dong. Ini mati-matian mengingatnya. Hei. Kamu kan nanti jadi Ajisaka. Eh. Oh, kamu ya.

Jadi kenapa Dewata Cengkar suka daging manusia, karena awalnya telunjuk Juru Masak terpotong. Masakannya jadi lezat buat dia.  

Iya benar. Ketagihan. Sekarang saya yang bertanya. Kenapa kok telunjuk yang terpotong. Telunjuk itu buat apa? Menunjuk. Memerintah.

Bentar. Saya beli rokok dulu. Yang mau ke kamar kecil, sekarang. Yang mau nolong saya mbeliin rokok, silakan. Terima kasih.  

Ok. Lanjut ya. Juru Masak. Juru itu bisa berarti Tukang, tapi juga bisa berarti sudut atau arah. Masak itu matang, tua. Artinya?

Yang lama, yang tua sedang tersudut. Tersingkir, tenggelam. Iya... ya gara-gara Dewata Cengkar itu laaah. Oh iya, siapa yang main?  

Kamu ya? Kenapa nggak mau. Jangan pilih-pilih peran. Kita ini baru belajar, kalau belum-belum sudah malas, mau jadi apa? Piye ta?

Ajisaka, mana tadi Ajisakanya? Ya... kamu terpanggil untuk menyelamatkan Medang Kamulan. Maka kamu menantang Dewata Cengkar.  

Caranya. Kamu bersedia menjadi santapan berikutnya, tapi dengan syarat, meminta sedikit saja tanah untuk mengubur tulang-tulangnmu.

Tidak luas, cuma seluas ikat kepala. Tolong ya, yang belum tahu, kita punya ragam ikat kepala terbanyak. Jadi itu bukan hiasan.  

Bahkan yang namanya ikat kepala itu biasa diwariskan turun-temurun. Itu penghormatan terhadap leluhur, terhadap masa lalu.

Singkat cerita, Dewata Cengkar setuju. Maka Ajisaka melepas ikat kepalanya. Nah, salah satu intinya ada di sini. Ini sulapannya.  

Begitu dibuka, ikat kepala itu makin lebar, makin lebar, mendesak Dewata Cengkar sampai ke pesisir, sampai ke laut, sampai jauh.

Dewata Cengkar tenggelam, menjelma Buaya Putih. Buaya kok putih? Ya pokoknya begitu. Kita tahunya buaya darat, air mata buaya, dll.  

Jangan gampang silau dengan putih, itu bisa jadi buaya. Gitu maksudnya. Jangan gampang percaya pada hitam, karena anti putih juga.

Intinya, Dewata Cengkar kalah. Selesai? Belum. Kamu, Hei Ajisaka, kamu ngantuk apa terlalu konsentrasi itu? Ini bagianmu.  

Kamu menyuruh Dora untuk pulang menjemput Sembada, sekalian mengambil pusaka yang dulu kautinggalkan di Majati. Namanya? Aku lupa.

Nah, Sembada dan Dora berdebat. Masing-masing merasa ditugaskan. Sembada kukuh bertahan, Dora memaksa. Mereka berkelahi. Bertarung.  

Yup. Benar. Siapa itu tadi? Dua-duanya mati. Aduuh... jangan tanya nama pusakanya apa... Aku lupa. Ajisaka saja lupa pada pesannya.

Nah, nanti endingnya, Ajisaka merenungi kematian kedua abdinya itu. Setelah Dora dan Sembada mati, lalu apa? Setelah kebohongan dan  

Ya. Setelah kebohongan dan kejujuran bertempur dan keduanya mati, lalu apa? Lalu Medang Kamulan melanjutkan sejarahnya. Angel.

Susah memang. Ini saya juga meraba-raba. Tapi optimis. Kan niat kita baik, nanti di tengah-tengah proses kita akan diajari.  

Baik. Semuanya, tanpa kecuali, hapalkan dulu ha na ca ra ka selengkapnya. Terutama kamu, yang jadi Ajisaka, awas kalau nggak hapal.

ha na ca ra ka / da ta sa wa la / pa dha ja ya nya / ma ga ba tha nga. Ada utusan. Mereka bertengkar. Sama saktinya. Keduanya mati.  

Ok. Sebelum bubar... saya pesan... ada atau tidak ada sponsor, pentas tetap harus dilaksanakan. Ok? Sip sip. Matur Nuwun.

#klana

Seorang yang tak diharapkan sedang menyeberangi gunung, dari Bantarangin menuju Kediri. Benarkah? atau dari Wengker ke Majapahit?

Penguasa Bantarangin sedang jatuh cinta. Kilisuci permata Kediri mengujinya dengan sebuah permintaan. Tontonan yang belum pernah ada.  

Sewandana, Si Pangeran Seberang -begitu orang-orang Kediri menyebutnya- tidak berhenti. Berharap perjalanan akan memberinya jalan.  

Jalan yang justru membangunkan keberaniannya, semangatnya. Maka Singa Barong yang menghadangnya pun dilawan. Tunduk. Takluk.

Merak menginjak kepala Sang Singa, dan tontonan itu pun jadilah. Juga tarian Patih Pujangga Anom, yang kita menyebutnya Bujangganong.  

Lalu, setelah permintaan itu dibayar tunai, adakah sejarah yang menulis tentang perkawinan Sewandana dan Kilisuci? Dongeng? Ada?  

Benarkah Wengker sedang mbalela diam-diam? Apakah Singa Majapahit yang melemah, karena Merak Cantik sedang melenakannya? Peringatan?

Dialah merak yang bahkan dari seberang lautan pun kilaunya masih nampak. Merak yang keindahan bulunya dimahkotakan pada Sang Raja.  

Prajurit berkuda yang adalah laki-laki berbedak tebal? Begitulah biasanya. Berapis baris di sekitar Raja, banyak para pencari muka.

Saturday, November 12, 2011

#sinten

Siapa sebenarnya yang kaucintai hai anak matahari, negeri atau dirimu sendiri? Atau, nasibmu yang istimewa itu? Hahaha. Dungu! #sinten

Kaupikir dengan menampik ibumu, lalu menjadi nomor satu? Aku membunuh ibuku, hai Karna. Kau belum apa-apa, belum pernah gila. #sinten

Kau membanggakan pernah hanyut di aliran Gangga. Huh. Kau tak pernah bisa hanyut jika saja tidak dihanyutkan, hai pemuda sombong. #sinten

Ayo, apa lagi yang ingin kaupamerkan. Apakah keraguanmu? Atau, keyakinanmu yang tebal, amat tebal hingga kau jadi mati rasa itu? #sinten

Kaupikir siapa dirimu, beraninya meminta menjadi muridku. Mari kita lihat, apakah kau bisa selamat dari kibasan kapakku. Ayo! #sinten

Maka terjadilah. Maka berlanjutlah. *ayak-ayakan #sinten

#kutang

Kutangkupkan tangan agar tak menangis, bukan untuk mendatangkan dewa. -Prita- #kutang

Kutangguhkan hasratku. Hingga Rama mati. -Rahwana- #kutang

Kutangkis pujian, agar kau tak menyesal. -Karna- #kutang

Kutangisi, kusakiti. Kamu. Dalam diam. -Abimanyu- #kutang

Kutanggalkan, bukan kutinggalkan. Mana bisa aku begitu. -Bisma- #kutang

#sampak

Maka kenalilah sebelum menilai nada-nada tak bertuan ini. Tuan telah silam meninggalkan keakuannya. Tinggal pengakuan kita. #sampak

2222 3333 1111 1111 2222 6666 6666 3333 2222 | 2222. Kemarahankah? Keterkejutankah? Bisa juga sakit atau senang yang terlalu. #sampak

3232 5353 2321 2121 3232 5616 1616 5353 6532 | 3232 6532. Nada jatuh yang sama. Rasa berbeda. Bukan sampak. Ini masih berbincang. #sampak

Dia sampak yang lebih muda, belum puncak, namanya Srepeg. Srepeg, sibuk, seperti lalu lalang kendara kereta, kuda dan manusia. #sampak

Lalu timbangan 'njomplang'. Satu arah. Maka sampak mulai berbunyi. Mulai menegaskan diri, mendampingi lakuan kisah sampai pagi. #sampak

Lakon melarut di lantunan, juga lanturan. Titik tujuan mulai kelihatan. Maka jalur liku tanjaknya pun mulai direncanakan. Manyura. #sampak

Siapa tokoh sore dan tengah malam tadi, siapa tokoh pagi nanti. Nada-nada yang berderet lurus-lurus saja inilah yang ikut menandai. #sampak

Nada-nada yang menyeret pengertian, seperti arus yang mengalirkan pemahaman. Angin berubah, berdesir pelan, membadaikan ingatan. #sampak

Tentu perlu beberapa jeda, setidaknya untuk mengendapkan yang teraduk. Maka Ayak-ayak membuat kita tunduk. Mengasyiki diri. #sampak

Menjaksai, mempembelai, lalu menghakimi. Tapi tak ada putusan yang lebih berat dari hukuman. Sekedar menjalani masa percobaan. #sampak

Sampai pertunjukan usai. Ada yang tidak berubah, sesyahdu apapun Ayak-ayakmu, serampak apapun Sampakmu. Tuan tetap menghilang. #sampak

Begitulah yang kami percaya. Sebaik-baik dalang adalah yang mampu menghilang, tinggal cerita dan wayang-wayang di layarnya. Salam. #sampak

#ranjap

Sudah hampir senja. Kurusetra gerimis. Setelah belasan hari, kegaduhan perang menjadi bunyian biasa. Telinga tak pekak lagi. #ranjap

Di awal perang, mereka yang mati masih diingat namanya, tapi sekarang, bahkan jumlahnya pun tak ada yang sempat menghitung. #ranjap

Dorna berjaya. Guru perang itu seperti kembali ke masa muda, saat namanya masih Kumbayana. Pandawa terdesak, Kurawa bersorak. #ranjap

Entah kebodohan apa yang menyusup di kepala Bima dan Arjuna, atau Dorna yang telah hapal luar dalam. Mereka termakan siasat. #ranjap

Cakrabyuha adalah baris berlapis yang putarannya menyesatkan. Saat salah satu lapisan terpecah, yang lain mengepung. Menjebak. #ranjap

Dorna tahu, di antara musuh, hanya Kresna dan Arjuna yang mampu menghadapi siasat itu. Kresna terikat sumpah. Tinggal Arjuna. #ranjap

Dorna tahu, Arjuna tidak pernah menolak tantangan. Maka dengan sedikit tipuan, Panengah Pandawa itu telah menjauh dari arena. #ranjap

Tentang Bima, Dorna tak mau berandai-andai. Kekuatannya bisa saja merusak rencana, maka ia pun harus disingkirkan dari medan. #ranjap

Selanjutnya jeritan di satu sisi dan gelak kemenangan di sisi lain. Pandawa seperti jerami dilindas roda kereta. Hampir putus asa. #ranjap

Matahari bergerak lambat menuju senja, masih jauh dari jeda. Tak ada kabar tentang Bima dan Arjuna. Gerimis mencairkan luka-luka. #ranjap

Kepanikan mengalir ke muara. Ke kekalahan. Kresna masih tenang, menunggu. Sampai terdengar sayup suara. 'Kenapa tak memilihku?' #ranjap

Abimanyu, pemuda 16 tahun itu maju, menawarkan diri. Ia mampu menembus Cakrabyuha. Arjuna pernah menceritakan rahasia siasat itu. #ranjap

Maka tanpa keraguan, Pandawa menggenggam lagi harapan mereka untuk menang, setidaknya untuk selamat hari ini. Puntadewa setuju. #ranjap

Kresna tahu, tapi sekali lagi hanya menanggapinya dengan sebuah pertanyaan. 'Kau tahu harganya, Abimanyu?' | Ya. Dan itu cukup. #ranjap

Maka peta berubah. Untuk sekejap, Cakrabyuha porak, seperti roda berderak, beberapa rujinya patah. Dorna dan Kresna saling menatap. #ranjap

Pandawa mulai tersenyum. Tapi Kresna tidak. Ada rahasia menyakitkan. Benar, Arjuna pernah bercerita pada Sumbadra yang sedang hamil. #ranjap

Abimanyu dalam kandungannya ikut mendengarkan, meminjam telinga ibunya. Yang Pandawa tidak tahu adalah cerita itu tidak selesai. #ranjap

Arjuna belum sempat menceritakan bagaimana keluar dari kepungan, menghancurkan Cakrabyuha dari dalam. Sumbadra terlelap. Hmm. #ranjap

Demikianlah. Setiap prajurit melekatkan ingatan masa kemudian dengan caranya sendiri. Memancing kekaguman. Juga penyesalan. #ranjap

Jangan tanyakan seperti apa perasaan Bima dan Arjuna malam itu. Seperti kuda yang melaju, memutus tali kekang. Selamat Petang. #ranjap

#ampak

Ampak-ampak. Kabut rendah menyambut langkah sang ksatria yang turun gunung, kembali dari puncak impian semalam tadi. Tanah basah. #ampak

Sesaat matahari yang semburat belum lama tadi telah cukup. Rindunya terjawab tunai. Jarak pandang yang tak seberapa jauh, tak apa. #ampak

Telah ditanggalkannya ketakutan yang tak perlu, juga godaan sunyi yang melelapkan di atas sana. Tertidur di gunung sungguh berbahaya. #ampak

Ia tahu, turun gunung lebih mungkin menyesatkan. Tapi aliran air adalah pemandu yang sempurna. Lumut di sisi pohon adalah penanda. #ampak

Tak lama lagi, saat kabut ini menghilang, ia siap. Di bawah, riuh rendah kerja, menanti cinta. 'Ora mung Dadi, nanging uga Lumadi'... #ampak

#diary

Penghindaranku tak lebih kuat dari tambak jerami, sedang pesonamu banjir bandang lautan lepas. -Narasoma- #diary

Di balik singgasana, ada tombak, pedang, dan darah tentu saja. Hanya orang besar yang mampu. -Sengkuni- #diary

Aku dan istriku dulu bermusuhan. Di tempat terang aku menang, di kegelapan aku kalah telak. Dan jadilah. -Udawa- #diary

Tanah liat. Dulu lucu, sekarang kotor. Akulah yang berubah. -Citrawati- #diary

#scene

Hi Drew... *diam. Hi Drew... Drew...padi... #scene

Anda yakin mau bercerai? | Ya. | Nama anda? | Kamajaya. | ??? *hakimnya dalang. #scene

Hormat Senjataaa... Grak! *gaduh di barisan... senjata Arjuna terlalu banyak. #scene

Pan gua kaga niat nyakti, udah sakti dari sononya. *gatotkaca *lenong #scene

Kurusetra gelap. Hujan panah. Di pojok taman kanak-kanak, seorang gadis kecil menangis. #scene

Selamatan di kampung. Panggang ayam mulai di bagi. Di halaman sedang wayangan, Dursasana Jambak. #scene

Drupadi baru saja gagal ditelanjangi. Di sebuah ballroom, beberapa wayang berpindah tangan. Cinderamata. #scene

Pertarungan seimbang. Rama terdesak. Rahwana hampir menang. Cut! #scene

Di sebuah perjamuan makan malam, Pandawa dan Kurawa. Penonton jatuh hati pada pemeran utama. #scene

Rama tergugu kehilangan. Sinta meraung, karena tak seputih Santi. #scene

Seekor burung belajar terbang, menabrak jendela istana. Presiden sedang mematut diri, berkaca. Kera-kera menambak laut. #scene

#diary

Gunjingkan semaumu, tapi aku tidak mengetuk semua pintu, hanya laki-laki yang baik hatinya. -Banowati- #diary

Bukan menyombongkan diri jika tak semua ketukan di pintu kubukakan. -Arjuna- #diary

Pintu untuk diketuk, dibuka paksa, didobrak biar semuanya terbuka. -Duryudana- #diary

Buatmu, pintu untuk dikunci. Dan anak kuncinya sirna. -Amba- #diary

Aku kemarau, maka pintuku tak berdaun. -Hagnyanawati- #diary

Dari pintu ke pintu -Bagong- | Petruk: Hush... Jangan menjiplak lagu. #diary

Rumah saya itu pintu semua. -Gareng- | Petruk: maksud Gareng, rumahnya blak-blakan. #diary

Itu pintu kalian. Cukup buatku sekali saja melewatinya. Sebelum hanyut. -Karna- #diary

#penget

Nadyan ngrungkebi greget, muga tan korub jroning karep. -Abyasa- #penget

Wani menek dhuwur, kudu wani tiba kanteb. -Kresna- #penget

Aja dumeh lumaku dalan rata, ana kalane kasandhung rasa. -Janaka- #penget

Yen kepeksane mrucut saka kudangan, aja tiba ing watu gilang. -Bisma- #penget

Rumangsa bener iku lamun kaladuk mahanani kebat kliwating tanduk. -Salya- #penget

#diary

Aku bukan rela, cuma gampang lupa. -Gendari- #diary

Aku juga, bukan rela, tapi sudah kehabisan cara. -Sentanu- #diary

Bukan rela, aku cuma takut jadi turun harga. -Urwasi- #diary

Kalian mengira aku rela, bukan, aku tak peduli. -Citrawati- #diary

Aku rela, bukan sedih tapi setelah marah yang terlampau. -Rama- #diary

Aku rela? Bukan, aku dendam karena tak sampai, pun sampai nanti. -Aswatama- #diary

Rela itu tak berhitung, juga jika tak masuk hitungan. -Puntadewa- #diary

Tak punya apa-apa untuk direlakan. Duniaku berbeda. -Parasu- #diary

Berabad-abad, menjaga cinta. -Panakawan- #diary

Setelah mencoba dan tak bisa-bisa, kami rela menjadi jahat. -Denawa- #diary

Rela nyanyi-nyanyi, lalu rela tidak dimengerti. -Pesindhen- #diary

Rela disayangi. -Dalang- *hoekkk BUBAR-BUBAR. Saya gak rela!!! #diary

#wakya

Adalah kata-kata. Samodrawakya, bahasa laut yang menampung bah, luap yang membanjiri hari-harimu, juga jelajah kapal kembaramu. #wakya

Akasawakya, bahasa langit yang menggelombangkan gambaran anganmu, menjangkau tepi yang paling tepi. Ke jauh yang paling nun. #wakya

Haldakawakya, bahasa gunung. Tantangan mendaki pada seluruh liku jurang bukit hidupmu. Memilih jalur, menjalarkan berlalunya waktu. #wakya

Jenggalawakya, bahasa rimba, mengejutkan dugaan, sesat kiblat yang murni dan perawan, damai yang mengancam, waspada yang diselalukan. #wakya

Wardayawakya, bahasa hati, yang memperkenalkan lagi akumu akuku kepada si mengakui, getaran yang tak butuh tumpangan untuk sampai. #wakya

#sanditama #sandinyolko

Ksatria tidak membidik dari kegelapan, tidak menyerang tanpa peringatan. Lukanya disamarkan, sakitnya digelakkan. -Kresna- #sanditama

Perang Malam, gelap adalah bagiannya. Meski begitu, aku membidik hanya setelah kalian siap. -Karna- #sanditama

Sesumbar itu seumpama guntur, hujan itu pertarunganmu, banjir itu kemenangan yang melenakan. Lupa diri. -Narasoma- #sanditama

Kalau ratusan panah telah menyakitimu, semoga satu panahku menyembuhkan kita. -Amba- #sanditama

Petruk: Gong, Berani karena Benar. | Bagong: Bukan Truk, Berani Bersalah karena Takut. #sandinyolko

Petruk: Gong, Pemuda Bersumpah. | Bagong: Truk, khusus kasusku, karena Pemudi Menyumpah. #sandinyolko

Petruk: Gong, Bapakmu Penyair ya? | Bagong: Bukan. | Petruk: wah... *matigaya #sandinyolko

Petruk: Gong, dia demam, panas, pegang aja dahinya. | Bagong: Ini Singa kan, Truk? #sandinyolko