Maaf. Ini tidak sering terjadi. Justru karena aku percaya padamu maka pagi ini kuputuskan untuk mengaku.
Aku merasa tersanjung, menjadi yang tertua di antara seratus bersaudara. Jumlah itu kadang adalah jumlah isi kepala yang berbeda.
Soal permusuhan dengan Pandawa itu, kurasa kau ikut membesar-besarkannya. Permusuhan masa kanak yang berlanjut sampai kini.
Jangan salahkan Sengkuni yang mengatur permainan dadu. Memang begitulah permainan kami para penguasa. Pandawa juga tahu soal itu.
Kami dan kurasa kau juga tahu, tidak aneh bila orang kalah selalu banyak bertanya, orang lapar gampang tersulut amarahnya.
Asal tahu, waktu permainan dadu, Puntadewa selalu memilih angka lebih dulu. Bukan itu saja, dia juga boleh bertukar angka.
Ya. Kami menang. Dursasana adikku mungkin keterlaluan saat berusaha menelanjangi Drupadi di arena permainan. Judi memang kejam.
Hukuman itu sudah menjadi kesepakatan, tapi tiba-tiba seperti sebuah kekejaman oleh kami yang menang ini. Keadilan macam apa?
Soal kenapa kami bersikukuh atas negeri yang kami menangkan, itu juga hal biasa. Mana ada kekuasaan diserahkan tanpa syarat?
Jangan menghina. Orang serakah hanya berani beradu punggung. Kami dari jenis berani mati. Hati-hati dengan penilaianmu.
Atau kita memang berseberangan? Jika begitu, bergabung saja dengan Pandawa. Pilih senjatamu, lalu kita buktikan.
Bukankah begitu, Paman?
17051119
Wayang Urban
Griya Gayeng Kayon Miring. Silakan mampir, ngobrol, ngopi, nglaras... salam - nanang hape
Monday, September 30, 2019
Sunday, September 29, 2019
Waktu adalah Sumbu
Arjuna mati! Arjuna mati! Adipati Karna telah membunuhnya. Oh ya? Siapa dalangnya, berani-beraninya mengubah cerita. Ngawur.
***
Hidup makin ditata, orang terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, lalu tanpa sadar jadi acap tergesa demi jadwal berikutnya. Siapa bilang Arjuna mati, itu hanya kelebat pikiran Kunti, ketakutan seorang ibu soal perang besar yang akan terjadi. Baratayuda. Tentu dia boleh berpikir begitu. Baik Karna maupun Arjuna adalah anaknya. Mana ada ibu yang suka melihat anak-anaknya saling berhadapan, saling mengancam, saling bunuh demi kebenaran yang masing-masing digenggam. Tidak ada, Ibu manapun, juga Ibu Pertiwi.
Tergesa bisa berkait sangkut dengan hal apa saja. Tergesa menelan tanpa mengunyah, tergesa percaya tanpa menimbang, tergesa memutuskan tanpa merenungkan. Apa lagi? Oh iya, tergesa matang tanpa diperam -apalagi matang pohon, sudah tidak sempat-, tergesa pintar tanpa belajar, kaya tanpa usaha, ngetop tanpa berkarya. Semua itu menghemat waktu. Lalu sisa waktunya buat apa?
Arjuna tidak mati! Belum!
Nah. Niatnya hemat waktu, tapi malahan buang waktu gara-gara tergesa menilai dalang yang belum rampung bercerita. Berapa banyak permusuhan akibat ketergesaan. Kabar yang belum jelas benar sudah dicarikan lawan tandingnya. Berapa banyak perpecahan karena kemarahan yang tidak diperam, marah-marah yang mentah, yang mencari pelampiasan secepat-cepatnya.
Arjuna tidak mati! Karna yang mati! Kepalanya terpenggal panah, menggelinding di tanah. Pandawa menang! Pandawa menang!
Kebenaran itu bercampur sudah dengan kengerian. Dan kita tidak masalah. Sudah biasa bahwa kemenangan juga sebaiknya didapat secepatnya, demi tidak habis waktu untuk kemenangan-kemenangan berikutnya.
Awalnya, waktu adalah kesempatan, lalu jadi kesempitan, kesempatan yang sempit, semacam sumbu. Bila kita lalu ikut terbakar oleh ledakannya, barangkali hati kita memang kering adanya.
120115-nananghape
***
Hidup makin ditata, orang terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, lalu tanpa sadar jadi acap tergesa demi jadwal berikutnya. Siapa bilang Arjuna mati, itu hanya kelebat pikiran Kunti, ketakutan seorang ibu soal perang besar yang akan terjadi. Baratayuda. Tentu dia boleh berpikir begitu. Baik Karna maupun Arjuna adalah anaknya. Mana ada ibu yang suka melihat anak-anaknya saling berhadapan, saling mengancam, saling bunuh demi kebenaran yang masing-masing digenggam. Tidak ada, Ibu manapun, juga Ibu Pertiwi.
Tergesa bisa berkait sangkut dengan hal apa saja. Tergesa menelan tanpa mengunyah, tergesa percaya tanpa menimbang, tergesa memutuskan tanpa merenungkan. Apa lagi? Oh iya, tergesa matang tanpa diperam -apalagi matang pohon, sudah tidak sempat-, tergesa pintar tanpa belajar, kaya tanpa usaha, ngetop tanpa berkarya. Semua itu menghemat waktu. Lalu sisa waktunya buat apa?
Arjuna tidak mati! Belum!
Nah. Niatnya hemat waktu, tapi malahan buang waktu gara-gara tergesa menilai dalang yang belum rampung bercerita. Berapa banyak permusuhan akibat ketergesaan. Kabar yang belum jelas benar sudah dicarikan lawan tandingnya. Berapa banyak perpecahan karena kemarahan yang tidak diperam, marah-marah yang mentah, yang mencari pelampiasan secepat-cepatnya.
Arjuna tidak mati! Karna yang mati! Kepalanya terpenggal panah, menggelinding di tanah. Pandawa menang! Pandawa menang!
Kebenaran itu bercampur sudah dengan kengerian. Dan kita tidak masalah. Sudah biasa bahwa kemenangan juga sebaiknya didapat secepatnya, demi tidak habis waktu untuk kemenangan-kemenangan berikutnya.
Awalnya, waktu adalah kesempatan, lalu jadi kesempitan, kesempatan yang sempit, semacam sumbu. Bila kita lalu ikut terbakar oleh ledakannya, barangkali hati kita memang kering adanya.
120115-nananghape
Tuesday, March 3, 2015
Wibisana - Bakti atau Durhaka
Cinta negeri tapi menyeberang ke pihak musuh? Buat Wibisana, tanah air tidak pernah bersalah, tapi tidak setiap raja mesti dibela.
Terasa kejam, apalagi Rahwana adalah kakaknya meski seutuhnya berbeda pandangan.
Toh Rama akan menyerang dan Alengka akan menderita akibat perang. Bila itu sudah niscaya, lebih baik diselesaikan secepatnya. Inilah jalan Wibisana, durhaka pada saudara tapi yakin sepenuhnya sedang berbakti pada semesta.
030315
Terasa kejam, apalagi Rahwana adalah kakaknya meski seutuhnya berbeda pandangan.
Toh Rama akan menyerang dan Alengka akan menderita akibat perang. Bila itu sudah niscaya, lebih baik diselesaikan secepatnya. Inilah jalan Wibisana, durhaka pada saudara tapi yakin sepenuhnya sedang berbakti pada semesta.
030315
Jatayu - Siapa Membela Rahwana
Siapa membela Rahwana menculik Sinta. Hamba-hamba cinta, Front Pembela Cinta, Pecinta Sejati. Tapi bukan Jatayu. Camkan itu.
Jatayu memang bukan merpati. Saking amat setia, dia justru terbang sendiri. Apa gunanya menculik cinta. Dia tidak tergenggam.
Tidak peduli mati, Jatayu menghadang Rahwana. Si burung ditebas pedang, bulu-bulunya semburat dicabuti. Telanjang, seperti cinta.
Rahwana tidak percaya, berabad-abad mencoba. Tak mati-mati. *dhog
030315
Jatayu memang bukan merpati. Saking amat setia, dia justru terbang sendiri. Apa gunanya menculik cinta. Dia tidak tergenggam.
Tidak peduli mati, Jatayu menghadang Rahwana. Si burung ditebas pedang, bulu-bulunya semburat dicabuti. Telanjang, seperti cinta.
Rahwana tidak percaya, berabad-abad mencoba. Tak mati-mati. *dhog
030315
Anjani
Sudah punya surga, kenapa masih berebut dengan saudara. Alcerita, surga sendiri tak temu dicari-cari, yang ini jelas di depan mata. Sebuah mainan, mangkuk, isinya surga. Bukankah berebut mainan adalah biasa? Tapi dilarang main-main. Bila senda tawa sudah berganti serapah, maka mangkuk pun pecah. Kini sudah menjelma telaga, siapa mencebur jadi kera. Anjani, di riak tepi membasuh muka, tangan kaki dan wajahnya telah kera pula. Menyusur di tanah basah, samar-samar bekas tapak kakinya. Jejak surga.
030315
Karna Tanding
Sehabis lesat pasopati, senja datang tergesa, perang terhenti. Seorang ibu meraihmu dalam gugu yang nyeri. Gelombang rindu tak sampai-sampai. Betapapun telah deras berbadai-badai hujan di batinnya, untukmu Karna cukuplah kiranya gerimis wangi ini. Kami dilarang menangisi. #karnatandhing_020315
Tuesday, February 24, 2015
Kamajaya Kamaratih
Cinta tidak pernah bosan turun dari kahyangan.
Seperti hujan, benih ditebar menghampar, menghampirimu.
Seperti hujan, di masa kanak kita menyambutnya dengan sepenuh keriangan, dan kini dengan separuh, mungkin seutuh ketakutan.
Tapi, ini wayangan semalam. Ketergesaan tidak menyegerakan pagi. Cinta tidak boleh dikejar. Dia bukan buruan.
#kamajaya_kamaratih 031214
Seperti hujan, benih ditebar menghampar, menghampirimu.
Seperti hujan, di masa kanak kita menyambutnya dengan sepenuh keriangan, dan kini dengan separuh, mungkin seutuh ketakutan.
Tapi, ini wayangan semalam. Ketergesaan tidak menyegerakan pagi. Cinta tidak boleh dikejar. Dia bukan buruan.
#kamajaya_kamaratih 031214
Subscribe to:
Posts (Atom)