Tuesday, November 15, 2011

#ajisaka

Hei kamu. Ya kamu. Halah, malah nengak-nengok. Ya kamu itu. Ok... namamu Ajisaka. Tolong naskahnya dipahami ya. bukan dihapalkan.

Kita mulai ya. Ajisaka... Aji itu nilai, bisa juga ajaran. Saka itu tiang, pilar. Pilar tahu kan? Tiang tiang... cagak Den, cagak.  

Nah, kamu berasal dari Kerajaan Majati. Ma itu Ibu, Jati itu Yang Sesungguhnya. Sejati... tahu kan? Ibu Sejati, Indung Agung.  

Ok. Lanjut ya. Nanti ceritanya, kamu akan pergi dari kerajaan. Oh iya, kamu punya dua abdi setia, namanya Dora dan Sembada. Apa?

Bukan Dora yang suka 'berhasil' 'berhasil' itu. Ini Dora yang artinya bohong, durhaka. Yang satu namanya Sembada, artinya jujur.  

Kamu punya pusaka, sorry, aku lupa nama pusakanya. Pokoknya pusaka ampuh. Nah, pusakamu itu kamu tinggal, nggak kamu bawa.

Si Sembada kamu suruh menjaga pusaka itu di Majati, sedangkan Dora kamu ajak jalan. Ha? Jalan-jalan? Jalan-jalan dengkulmu. Serius!  

Kamu sudah tahu mau kemana? ke Medang Kamulan. Medang, dari Ma Da Hyang, artinya Ibu yang Agung. Kita anggap saja, Ibu Kota.

Wah. Bukan Jakarta. Kamu itu memang abai sejarah. Ya kalau tepatnya di mana, saya juga nggak tahu, tapi kan ada rujukan setidaknya.  

Ada yang menyebutnya dengan nama Kalingga, cikal bakal Mataram Kuno. Nah, Mataram Kuno kan di sekitar Merapi. Jogja? Ya mungkin.  

Lanjut ya. Sebelum kamu berangkat, kamu berpesan pada Si Sembada. Siapapun kecuali kamu tidak boleh mengambil pusaka itu.  

Ya ampun. Suaranya bagaimana, ya jangan tanya aku. Itu Ajisaka di dalam dirimu itu tolong dibangunkan. Susah ya anak sekarang.

Kalian, kamu dan Dora berangkat. Kenapa Dora yang diajak? Nah. Pertanyaan bagus. Gitu dong. Iya... iya iya iya... kenapa Dora ya?  

Itu kita bicarakan nanti ya. Sekarang ceritanya dulu. Kamu dan Dora menyeberangi lautan, menuju Medang Kamulan. Naik daun.

Tolong jangan kebanyakan nanya dulu. Saya juga bingung kenapa naik daun. Tapi ya sudah, sementara kita terima dulu seperti itu.  

Di Medang Kamulan, kamu di sambut dengan onar yang menyeramkan. Rajanya bernama Dewata Cengkar, dia suka makan daging manusia.

Oh iya ya. Naik Daun kan artinya mulai ngetop ya. Apakah ada hubungannya? Hush! Fokus fokus. Sampai mana tadi? Oh, Dewata Cengkar.  

Dewata itu kira artinya Cahaya Gerak Hidup, Cengkar itu artinya Tandus, Gersang. Menurut dongeng, Dewata Cengkar bukan asli Medang.

Dia dari tanah gersang. Mungkin dari padang pasir atau semacamnya, menyerang lalu menguasai Medang. Medang Kamulan itu Jawa. Haduh.  

Tadi kan sudah. Tolong jangan disambi ngemil dong. Ini mati-matian mengingatnya. Hei. Kamu kan nanti jadi Ajisaka. Eh. Oh, kamu ya.

Jadi kenapa Dewata Cengkar suka daging manusia, karena awalnya telunjuk Juru Masak terpotong. Masakannya jadi lezat buat dia.  

Iya benar. Ketagihan. Sekarang saya yang bertanya. Kenapa kok telunjuk yang terpotong. Telunjuk itu buat apa? Menunjuk. Memerintah.

Bentar. Saya beli rokok dulu. Yang mau ke kamar kecil, sekarang. Yang mau nolong saya mbeliin rokok, silakan. Terima kasih.  

Ok. Lanjut ya. Juru Masak. Juru itu bisa berarti Tukang, tapi juga bisa berarti sudut atau arah. Masak itu matang, tua. Artinya?

Yang lama, yang tua sedang tersudut. Tersingkir, tenggelam. Iya... ya gara-gara Dewata Cengkar itu laaah. Oh iya, siapa yang main?  

Kamu ya? Kenapa nggak mau. Jangan pilih-pilih peran. Kita ini baru belajar, kalau belum-belum sudah malas, mau jadi apa? Piye ta?

Ajisaka, mana tadi Ajisakanya? Ya... kamu terpanggil untuk menyelamatkan Medang Kamulan. Maka kamu menantang Dewata Cengkar.  

Caranya. Kamu bersedia menjadi santapan berikutnya, tapi dengan syarat, meminta sedikit saja tanah untuk mengubur tulang-tulangnmu.

Tidak luas, cuma seluas ikat kepala. Tolong ya, yang belum tahu, kita punya ragam ikat kepala terbanyak. Jadi itu bukan hiasan.  

Bahkan yang namanya ikat kepala itu biasa diwariskan turun-temurun. Itu penghormatan terhadap leluhur, terhadap masa lalu.

Singkat cerita, Dewata Cengkar setuju. Maka Ajisaka melepas ikat kepalanya. Nah, salah satu intinya ada di sini. Ini sulapannya.  

Begitu dibuka, ikat kepala itu makin lebar, makin lebar, mendesak Dewata Cengkar sampai ke pesisir, sampai ke laut, sampai jauh.

Dewata Cengkar tenggelam, menjelma Buaya Putih. Buaya kok putih? Ya pokoknya begitu. Kita tahunya buaya darat, air mata buaya, dll.  

Jangan gampang silau dengan putih, itu bisa jadi buaya. Gitu maksudnya. Jangan gampang percaya pada hitam, karena anti putih juga.

Intinya, Dewata Cengkar kalah. Selesai? Belum. Kamu, Hei Ajisaka, kamu ngantuk apa terlalu konsentrasi itu? Ini bagianmu.  

Kamu menyuruh Dora untuk pulang menjemput Sembada, sekalian mengambil pusaka yang dulu kautinggalkan di Majati. Namanya? Aku lupa.

Nah, Sembada dan Dora berdebat. Masing-masing merasa ditugaskan. Sembada kukuh bertahan, Dora memaksa. Mereka berkelahi. Bertarung.  

Yup. Benar. Siapa itu tadi? Dua-duanya mati. Aduuh... jangan tanya nama pusakanya apa... Aku lupa. Ajisaka saja lupa pada pesannya.

Nah, nanti endingnya, Ajisaka merenungi kematian kedua abdinya itu. Setelah Dora dan Sembada mati, lalu apa? Setelah kebohongan dan  

Ya. Setelah kebohongan dan kejujuran bertempur dan keduanya mati, lalu apa? Lalu Medang Kamulan melanjutkan sejarahnya. Angel.

Susah memang. Ini saya juga meraba-raba. Tapi optimis. Kan niat kita baik, nanti di tengah-tengah proses kita akan diajari.  

Baik. Semuanya, tanpa kecuali, hapalkan dulu ha na ca ra ka selengkapnya. Terutama kamu, yang jadi Ajisaka, awas kalau nggak hapal.

ha na ca ra ka / da ta sa wa la / pa dha ja ya nya / ma ga ba tha nga. Ada utusan. Mereka bertengkar. Sama saktinya. Keduanya mati.  

Ok. Sebelum bubar... saya pesan... ada atau tidak ada sponsor, pentas tetap harus dilaksanakan. Ok? Sip sip. Matur Nuwun.

3 comments:

Anonymous said...

apa yang saya cari, terima kasih

Nanang Hape said...

sama-sama... terima kasih telah mampir

Unknown said...

_/\_ matur nuwun